Selasa, 12 Januari 2010

18. TINJAUAN, ANALISA DAN PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEJARAH SADRACH

Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan mempertimbangkan apa yang telah terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana telah dikemukakan oleh W. Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup; ia dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang komplek dalam masa silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri. Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang dinamis untuk masa yang akan datang dengan warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu pertalian yang bersifat peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang boleh menjadi pegangan kita.

Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia menjadi orang Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras dalam mencari kebenaran Allah. Ialah seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak dan pikiran sendiri. Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia harapkan. Perkenalan dengan Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah sudah menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh ajaran gereja Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi orang Kristen, cerdas, mempunyai cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut kesaksian Mr. Anthing yaitu ada beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu sebelum ia menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang yang berilmu sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki itu tidak dapat diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai pembantu Ny. Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.

Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach. Adapun kelemahan-kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa, kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat, hanya beberapa macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan sebagainya yang nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari pada itu, sebagaimana telah kita baca dihalaman depan, rupanya Sadrach telah cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap praktek-praktek pemujaan orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang melemahkan seluruh pelayanannya kepada pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach menyebabkan tidak adanya orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal dunia dapat dikatakan bahwa persekutuan Kristen yang ia pimpin kemudian terpecah belah, serta makin lama makin menipis, hal itu tentu patut disayangkan.

Tapi sebaliknya, Sadrach adalah orang yang sangat berwibawa. Ia sangat ditaati orang. Pengaruhnya sangat besar dan tak mudah ditundukkan orang lain, dan berjiwa bebas lagi pula suka bergaul dengan siapa saja yang dijumpainya. Baik kepada orang-orang yang berpangkat atau kedudukan tinggi maupun sampai yang rendah. Hubungannya sangat luas. Hatinya sangat keras dalam arti kata keras mencari kebenaran Allah, tapi ia ramah terhadap sesama orang, baik orang itu pernah menyakitkan hati atau tidak, pendiriannya selalu baik terhadap siapa saja, hal ini ternyata pada waktu ia dipenjarakan karena dituduh melanggar peraturan pemerintah (pencacaran) dan lebih-lebih direndahkan dihadapan orang banyak oleh Bieger. Apakah ia marah atau dendam sekali-kali tidak. Ia terima segala hinaan dan fitnahan-fitnahan Bieger, sebagai suatu ujian imannya. Semua diterimanya dengan besar hati. Dalam kenyataan ia telah mengangkat seorang pendeta Belanda utusan NGZV. Yaitu Wilhelm menjadi pendetanya, dan apa yang diajarkan dan diatur oleh Wilhelm tak pernah ditentangnya. Demikian pula dengan Adriaanse yang sangat diharapkan bantuan-bantuannya, tapi sayang, Adriaanse bertindak terlalu hati-hati hingga selalu tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Adriaanse ingin merintis kembali hubungannya dengan Sadrach tetapi ia kurang tegas dan terlalu takut kepada atasanya, hingga gagal. Apakah jeleknya dan salahnya kalau Sadrach minta bantuan demi kemajuan jemaatnya, tetapi selalu terhambat, karena Adriaanse tidak dapat mengambil keputusan sendiri selalu minta ijin dari negeri Belanda. Sebenarnya hal ini sangat mengecewakan jemaat Sadrach di Karangjoso. Lebih-lebih ketika Lion Cachet dengan keputusannya yang kurang bijaksana.

Akhirnya membawa kerugian besar dipihak Zending sendiri. Dengan keputusan itu berarti menutup rapat bagi Jemaat Sadrach untuk mengadakan kontak dengan pihak Zending, ini berarti pula bahwa kemungkinan untuk saling belajar juga tertutup. Lion Cachet seorang Belanda dan bertindak seperti orang Belanda terhadap jemaat di negeri Belanda yang sudah banyak kemajuan dalam pengertian Alkitab. Dalam hal ini tentulah tak dapat disamakan dengan keadaan orang Jawa. Pandangannya kurang sesuai dengan cara hidup orang Jawa. Pertanyaan yang penting setiap kali muncul disini, bagaimanakah dapat menilai kekristenan orang Jawa dengan segala watak dan hati dan serta keistimewaannya ? Kecuali orang yang dapat hidup bersama-sama, bergaul bersama-sama dalam waktu yang lama. Hal ini tak dapat dipandang sepintas lalu saja sebagai kaum wisatawan. Lion Cachet bertindak dan mengambil keputusan dengan apriori seperti kaum wisatawan saja, dan sangat berbeda pandangannya dengan Wilhelm yang sudah bergaul bersama-sama hingga mengerti benar-benar apakah yang dikehendaki dan cara bagaimana harus melayani jemaat yang masih terlalu kurang dalam pengertian sebagai orang Kristen terhadap orang-orang Kristen Jawa. Ia merintis segala kesukaran-kesukaran yang ia hadapi untuk menuju kearah kemurnian jemaat-jemaat Jawa dengan usaha membuka sekolah.

Ia mengetahui bahwa adat-adat kebiasaan orang Jawa memang tak mudah dibuang saja, bahkan semua harus dilakukan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Perintisan dimulai dari pendidikan sekolah guru Injil bagi anak-anak, dimana ia telah menganjurkan kepada jemaat-jemaat supaya orang-orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Ternyata tindakan dan usaha Wilhem membawa berkat Tuhan yang amat besar, dengan penambahan-penambahan anggota jemaat yang tidak sedikit, baik di daerah Bagelen maupun sampai di wilayah Yogyakarta. Jasa Wilhelm amat besar bagi Jemaat Jawa. Tetapi sayang usaha-usaha Wilhelm sangat ditentang oleh rekan-rekannya sendiri yaitu Horstman, Vermeer dan Zuidema.

Apakah mungkin mereka iri hati, mengapakah Wilhelm dapat bergaul baik dengan orang-orang Jawa sedangkan mereka tidak ? Dalam hubungan ini muncul suatu pertanyaan pokok dalam misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja-gereja dari Barat : bagaimanakah kaitan antara kebudayaan dan Injil, seberapa jauhkan Injil telah tercampur baur dengan kebudayaan barat dalam hal ini kebudayaan negeri Belanda ? bagaimana hubungan antara identitas kulturil dan Injil keselamatan ? Sampai seberapa jauhkah perbedaan antara kekristenan Jawa dan kekristenan Belanda ? Persoalan-persoalan itulah yang nampaknya terus menerus digumuli oleh Kyai Sadrach terbukti ketika ia mengatakan bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran Orang Jawa, asal tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen. Hal ini ternyata mereka telah memberikan laporan-laporan yang bertentangan dengan laporan Wilhelm kepada NGZV, seolah-olah ingin menjatuhkan Wilhelm. Laporan-laporan mereka lebih dikuatkan oleh kenyataan-kenyataan yang dilihat sendiri oleh Lion Cachet dari dekat, ketika ia berjumpa dengan seorang yang menderita sakit dan ingin minta obat dari Sadrach dan mendengar sendiri dari beberapa murid Sadrach dari hal kesaktian-kesaktian Sadrach dan sebagainya. Sayang, Lion Cachet hanya banyak mendengar dari murid-murid Sadrach saja dan kurang menghubungi Sadrach sendiri, dan tidak mengetahui benar-benar apa yang dilakukan oleh Sadrach sendiri. Ia tak menyadari bahwa pengikut-pengikut Sadrach sangat setia pada Gurunya. Mereka menjunjung tinggi gurunya. Maka keputusan Lion Cachet itu benar-benar menutup pintu segala kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan Jemaat tersebut Wilhelm seolah-olah menjadi saingan besar terhadap rekan-rekannya sendiri. Soal ini berarti pihak Zending salah bertindak meskipun tujuan dan maksudnya mungkin benar. Akhirnya membawa perpecahan, berantakan dan kemunduran yang amat menyedihkan. Tetapi dipihak Sadrach tetap teguh, sedikitpun tak goyah. Pengikut-pengikutnya tetap setia kepadanya. Akhirnya Sadrach memutuskan hubungan dengan Zending. Adapun kerugian yang diderita oleh Zending adalah pertama kehilangan 2 pendeta utusan yaitu Wilhelm dan Vermeer. Horstman kembali ke Nederland karena istrinya meninggal dunia. Murid-murid Sekolah Keuchenius ditarik kembali oleh orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam lingkungan Zending sebagian besar meninggalkan Gerejanya, menurut catatan mula-mula jumlah 6374 dan kini hanya tinggal 150 termasuk jemaat-jemaat : Purworejo, Temon, Tegal, Pekalongan dan daerah Banyumas. NGZV, tidak berdaya lagi untuk menrintis kembali jemaat Jawa di Jawa Tengah ini, maka mereka mencoba menyerahkan tugas ini kepada Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland. Akhirnya Gereja-gereja ini mengutus Adriaanse, tetapi Adriaanse pun gagal usahanya.
Dalam situasi demikian itu, dalam keadaan yang masih keruh itu, datang seorang Tionghoa dari aliran gereja Kerasulan di Magelang bernama Liem Tjhing King, mula-mula kedatangannya memberitahu tentang meninggalnya Mr. Anthing yang saat itu sudah menjadi rasul di Indonesia. Inilah sebagai suatu dorongan mula-mula masuknya Sadrach menjadi rasul, dasar pada saat itu Sadrach merasa bebas tidak tergantung lagi kepada Zending maupun aliran lain. Ia bebas 100 %, dengan demikian maka baginya bebas untuk mengambil tindakan-tindakan selanjutnya menurut kehendaknya sendiri. Dorongan menjadi rasul lebih dikuatkan ketika ia meninjau keluarga Anthing dan menghadiri kebaktian di gereja Kerasulan. Kemudian ia menyatakan kesediaannya diangkat menjadi Rasul. Sifat dan ciri Sadrach, ia selalu suka pada hal yang ia anggap baru. Hatinya sangat tertarik masuk menjadi Rasul mengikuti teladan-teladan gurunya yaitu Mr. Anthing. Biasanya orang diangkat menjadi rasul berdasarkan percaya akan nubuat-nubuat yang datang daripada Allah sendiri. Menurut kepercayaan Gereja Kerasulan, Rasul itu harus tetap ada hingga akhir jaman. Orang yang diangkat menjadi Rasul berhak melayani sakramen-sakramen gereja. Kedudukan inilah sebenarnya yang dikehendaki Sadrach dimana ia dulu sebagai kaum awam tapi sekarang sebagai Rasul yang berhak melayani Baptisan dan Perjamuan Suci, hingga tidak lagi memerlukan pendeta untuk melayaninya. Dengan pengangkatan Sadrach menjadi Rasul, sebenarnya bagi Sadrach belum jelas, bagaimanakah peraturan-peraturan yang harus dipraktekkan, bukti bahwa segala peraturan Gerejanya masih tetap memakai peraturan-peraturan yang lain, hanya ada beberapa penambahan yang terdapat dalam jabatan-jabatan.
Ketika Sadrach meninggal dunia, terjadi kegoncangan. Jemaat Sadrach terpecah belah dan berantakan. Ini sebenarnya hanya disebabkan Yotham yang menghendaki agar Jemaatnya diserahkan kepangkuan Zending. Ia sendiri tidak ada kesanggupan untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Yotham yang sejak muda menjadi murid Wilhelm dan Zuidema di sekolah Keuchenius. Sedikit banyak ia telah memperoleh pengertian-pengertian tentang Kitab Suci dan peraturan Gereja. Ia berpendirian lain dari pada Sadrach, bahkan ia lebih condong untuk menyerahkan kepangkuan Zending. Angan-angan ini sebenarnya sudah ada sebelum Sadrach meninggal dunia, ia sebenarnya tidak setuju dengan peraturan-peraturan adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Kristen Jawa yang oleh Sadrach dibiarkan saja, dan lagi tentang pendirian gereja kerasulan dalam hati Yotham kurang setuju, karena ia anggap menyimpang dari ajaran kitab suci. Tapi angan-angan tetap tinggal angan-angan saja. Hal ini barulah terwujud setelah Sadrach meninggal dunia.

Rasul Schmidt dari Cimahi mencoba mempertahankan aliran kerasulan Sadrach, maka diusulkan supaya mencari pengganti orang lain. Akhirnya Yotham menerima juga untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Sebenarnya Yotham sudah mempunyai rencana-rencana tertentu. Dengan menerima pengangkatan itu termaksud hanya agar memuaskan rasul dari gereja Kerasulan dan pemimpin-pemimpin kelompok yang masih setia kepada Sadrach. Hal ini terbukti dalam pimpinannya tidak dapat memuaskan kepada pemimpin-pemimpin kelompok atau para imam. Karena itu beberapa pemimpin kelompok telah memisahkan diri dari Jemaat itu dan akhirnya mereka telah menyatukan diri kepada Zending. Menurut Yotham, haruslah diadakan pembaharuan Jemaat sebab mengingat tidak ada kemajuan sama sekali. Ia telah mengadakan musyawarah, dengan mengundang beberapa pendeta Zending dan semua pemimpin kelompok bermaksud akan menyerahkan Jemaat-jemaat Sadrach pengakuan Zending. Dengan senang hati Zending menerima baik, tetapi ada beberapa pemimpin yang telah mempertahankan Naluri Kerasulan Sadrach. Mereka terpaksa memisahkan diri. Dan hingga kini Jemaat Kerasulan Naluri tetap ada. Misalnya di desa Ketug, sebagai pemimpin sampai pada saat ini (akhir 1971) ialah Bapak Martosugondo, yang masih keturunan Yotham Martorejo sendiri.

Jumlah anggota Jemaat hanya terdapat beberapa orang saja, sedangkan anak-anak dan cucu-cucunya tidak mengikuti aliran itu. Mereka menjadi anggota Jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa). Jemaat Karangjoso dipersatukan dengan jemaat-jemaat lain. Sebagai ibu jemaat adalah jemaat di Purworejo. Dengan demikian sampai pada saat ini, adat-adat kebiasaan yang dulu masih berjalan dalam jemaat, ternyata sekarang sudah lenyap sama sekali, nyanyian-nyanyian yang dipakai sekarang adalah Nyanyian Kidung seperti yang dipergunakan di jemaat-jemaat lain. Liturgi Kebaktian dan peraturan-peraturan lain kini sudah sesuai dengan Jemaat lain. Hingga pada saat ini (akhir 1971) sebagai guru Injil adalah Bp. Soeprapto Martoseputro, cucu dari Yotham Martorejo.
Sampai pada saat ini juga di Karangjoso masih ada Gereja Kerasulan Baru, tapi ini bukan Gereja Kerasulan naluri Sadrach. Gereja tersebut dalam corak dan bentuk lain, yang memakai bahasa campuran yaitu kotbah dengan bahasa Jawa tetapi nyanyiannya bahasa Indonesia.

Demikian Sejarah Jemaat GKJ di Karangjoso dapat berjalan dengan baik karena berkat-berkat Tuhan setelah mengalami berbagai proses yang tak mudah dilupakan dalam Sejarah Gerejani.
Bagaimana menilai orang seperti Kyai Sadrach ? Pertanyaan ini memang sulit sekali dijawab. Dan buku kecil ini juga hanya semacam sketsa yang tidak memberikan penjelasan-penjelasan terperinci tentang masalah-masalah tehologia yang dihadapi oleh Sadrach.

Namun, buku seperti ini sangatlah penting artinya. Sebab didalamnya dilukiskan pergumulan seorang pemimpin agama Kristen di Jawa melawan otoritas Gereja resmi, badan Zending serta pemerintah kolonial Belanda. Hal seperti ini belum pernah dikupas secara khusus dalam literatur Kristen. Sehingga sering menimbulkan kesan ditengah masyarakat luas dan juga dikalangan warga Gereja, seolah-olah persoalan semacam ini tidak pernah ada.

Masalah pokok yang bisa muncul dari buku kecil semacam ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Sampai seberapa jauhkah pekabaran Injil di Indonesia ini tercampur dengan unsur-unsur kebudayaan Barat, khususnya kolonialisme ? Apakah perbedaan atau pertentangan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Jawa dapat dianggap sebagai pertentangan antara Injil dan unsur-unsur kekafiran dari kebudayaan Jawa ? Bagaimana hubungan antara identitas kulturil dengan pertobatan kepada Injil Yesus Kristus ?

Riwayat Kyai Sadrach dalam buku ini sedikitnya menunjukkan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad ke-19), Gereja Kristen belum mampu memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu secara jernih. Sejarah akan berkembang ke arah lain, seandainya gereja benar-benar taat kepada Tuhannya.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

17. SADRACH MENINGGAL DUNIA; MASALAH GEREJA KERASULAN JAWA

Mulai tahun 1900 kejayaan Jemaat Kerasulan Jawa di Karangjoso dan nama Sadrach sangat termasyhur. Di almanak tahun 1900 – 1925, nama Sadrach selalu dicantumkan sebagai Rasul Jawa Tengah, diakui sah oleh Pemerintah, juga dalam Majalah-majalah Nederland Indie.

Sadrach telah lanjut usianya, maka segala pekerjaan di serahkan kepada pembantu-pembantunya : Yotham Martorejo dan kawan-kawannya. Ia sering menderita sakit.
Pada tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach menutup mata untuk selama-lamanya. Penguburannya dipimpin oleh rasul Schmit dari Cimahi. Pendeta van Dijk dari Kebumen (sebelum dipindah ke Wonosobo) Bupati Kutoarjo utusan dari jemaat-jemaat yang tersebar di Jawa Tengah datang untuk memberi penghormatan terakhir.
Sepeninggal Sadrach, Jemaat Karangjoso dan sekitarnya goncang. Sadrach sendiri tak berputra. Anak angkatnya yaitu Yotham Martorejo yang memperoleh warisan sehingga sekarang rumah tempat tinggal Sadrach oleh cucu Yotham.

Pribadi Yotham tak berwibawa, tak mudah menggantikan kedudukan Sadrach. Ia sebagai murid Zuidema, hatinya cenderung untuk menyerahkan tugas kegerejaan kepada Zending. Tetapi rasul Schmit menghendaki supaya orang lain menggantikan kedudukan Sadrach, jika Yotham tidak sanggup. Dalam suasana yang demikian pernah datang seorang Pastoor berkunjung ke Karangjoso. Tak jelas apa yang dibicarakan. Baru kemudian hari ternyata putera Yotham masuk Katholik.

Walau bagaimanapun keadaannya, Yotham menerima kedudukan sebagai pengganti Sadrach. Tetapi banyak pemimpin kelompok tidak puas dibawah kepemimpinan Yotham. Akibatnya ada yang memisahkan diri, yaitu Abraham Wongsorejo dari Wedi Klaten. Juga Wigyosastro. Kelompok dibawah pimpinan Wijoyo juga memisahkan diri dan akhirnya menyerah kepada Zending pada tahun 1933, dan pula tak disangka-sangka Abraham Wongsorejo menghubungi pendeta van Dijk, menyatakan diri kepada Zending dan oleh Zending ia diangkat menjadi guru Injil di Wonosobo.

Akhirnya Yotham Martorejo pada tahun 1933 menyerahkan jemaat Karangjoso kepada Zending. Hal ini sebenarnya sudah menjadi angan-angan Yotham setelah Sadrach meninggal dunia. Sesungguhnya tahun 1925 hingga tahun 1933 merupakan “tahun berantakan” bagi jemaat Karangjoso. Ada beberapa pemimpin yang tetap mempertahankan ajaran Sadrach Naluri. Karena Jemaat Karangjoso sudah diserahkan kepangkuan Zending dengan resmi, maka mereka yang tetap mempertahankan kerasulan telah memisahkan diri kepelbagai tempat, misalnya di desa Ketug, di daerah Solo, Grojogan dan sebagainya.
Demikianlah Jemaat Kerasulan terpecah belah, ini sangat menyedihkan. Sedangkan Sadrach sebelum meninggal dunia telah memberi pesan agar orang-orangnya jangan tercerai berai.

Pelaksanaan penyerahan pada saat itu, telah diadakan pertemuan antara pendeta-pendeta Zending dan pemimpin-pemimpin kelompok jemaat Karangjoso untuk mengadakan pembicaraan bersama hal penyerahan jemaat Sadrach kepada Zending. Dalam pembicaraan itu telah menelorkan suatu keputusan bahwa semua Jemaat Kerasulan Sadrach diserahkan kepada Zending. Walaupun sudah demikian keputusannya, tapi ada beberapa orang yang tidak setuju dan tidak rela dengan penyerahan itu, akhirnya mereka memisahkan diri dari Jemaat Karangjoso. Penyerahan kepada Zending telah dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1933.

Sejak itu Yotham oleh Zending diangkat menjadi guru Injil di Karangjoso. Ia mengajarkan seturut peraturan-peraturan Gereja yang sudah ditetapkan, Yotham sebagai murid Zuidema yang setia telah mendapat pelajaran-pelajaran cukup dalam pengertian ajaran Kitab Suci, hingga ajarannya tidak ada yang bertentangan dengan peraturan-peraturan Gereja-gereja Zending. Adat-adat kebiasaan Jawa yang tercampur dengan kepercayaan-kepercayaan tahyul dikalangan orang-orang Kristen makin hilang dan pengertian hal ajaran Kitab Suci makin diperkaya.
Dengan kembalinya Jemaat Karangjoso kepada Zending, sejak saat itu juga, Jemaat Karangjoso dimasukkan dalam wilayah Klasis Purworejo sebagai gereja yang belum dewasa. Hingga tahun 1936 jumlah anggota gereja di Karangjoso 110 orang. Dan jumlah anggota dalam Klasis Purworejo 1575 orang.

Gereja-gereja yang termasuk lingkungan Klasis Purworejo adalah :

Purworejo sebagai ibu Jemaat 280 anggota
Temon (dewasa) 110 anggota
Kesingi (dewasa) 80 anggota
Pahlian (dewasa) 120 anggota
Kutoarjo (belum dewasa) 90 anggota
Dermosari (belum dewasa) 50 anggota
Geparang (belum dewasa) 100 anggota
Karangjoso (belum dewasa) 110 anggota
Tlepok (belum dewasa) 120 anggota
Pituruh, Jambean, Jenar-Purwodadi
Kaliboto, Kaligesing, tunggulrejo dan Rejosari 515 anggota
Jumlah 1575 anggota

Dari jumlah tersebut belum termasuk Jemaat Magelang yang juga termasuk lingkungan Klasis Purworejo. Jumlah anggota Jemaat Karangjoso tahun 1938 = 122 anggota dan tahun 1944 = 200 anggota.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

16. SADRACH DIANGKAT MENJADI RASUL

Dalam situasi sedemikian, ada usaha dari Gereja Negara untuk menganeksasi. Tapi hal ini tidak mungkin terjadi. Jemaat tidak setuju. Karena mereka menganggap bahwa Sadrach adalah nabi dari agama Kristen. Pada saat itu Sadrach dihubungi oleh seorang Tionghoa anggota jemaat Kerasulan bernama Liem Tjhing Kiang yang bertempat tinggal di Magelang, yang mempunyai juga hubungan dengan Mr. Anthing di Batavia.
Seperti telah diuraikan di atas, Mr. Anthing adalah seorang anggota “Het Genootschap voor In-en Uitwendige Zending yang sangat aktif dalam Pemasyhuran Injil kepada bumi putera. Untuk keperluan PI tentulah membutuhkan biaya-biaya, tetapi perkumpulannya di Negeri Belanda tidak dapat memenuhinya. Kemudian ia mengadakan hubungan dengan jemaat-jemaat Kerasulan di London (Inggris). Adapun pendiri jemaat-jemaat Kerasulan di London bernama Eduard Irving, ialah seorang pendeta Gereja Presbyterian di London, yang tidak puas dengan kemerosotan hidup kerohanian gereja pada saat itu. Ia berpendapat bahwa karunia rohani yang istimewa dari Tuhan tidak terbatas hanya pada jaman para Rasul saja, melainkan terus sampai pada hari Tuhan (Kiamat).
Tidak adanya karunia rohani yang istimewa ia dalam gereja disebabkan oleh iman yang tipis, rendah dan tak ada kesucian Gereja. Pendapatnya diperkuat oleh suatu peristiwa kesembuhan Isabela Campell yang telah lama dan berat menderita sakit di Glasgow. Ini dipandang sebagai karunia Roh, banyak orang datang kesana. Anggota jemaat di Glasgow disebut “orang” yang diterangi. Dalam Kebaktian banyak orang yang berbahasa lidah, ini dianggap sebagai karunia roh, demikian pula anggapan Irving, Eduard Irving kemudian memberi ajaran yang menyimpang dan mendirikan gereja di Newman Street. Gerakan ini berpendapat bahwa orde kenabian timbul dalam gereja. Tak lama kemudian adalah seorang nabi telah ditunjuk sebagai Rasul. Jabatan gereja terdiri dari : rasul, nabi, penginjil dan gembala. Pelaksanaannya : Pilihan untuk jabatan tahbisan pertama telah dilakukan pada hari Natal 1832 di kota Albury, hingga tahun 1833 baru ada lima orang rasul. Setelah genap duabelas rasul, mulailah pergerakkannya. Mereka berkumpul di Albury terutama untuk memperdalam pengetahuan Alkitab dan mengatur gerejanya. Kemudian mereka berpencar kepelbagai tempat untuk menjalankan tugas masing-masing dan tiap dua tahun sekali mereka berkumpul. Praktek Kebaktian mereka seperti Yahudi dan Roma Katholik. Perjamuan Suci dilakukan tiap minggu. Kebaktian diadakan tiap hari Minggu dua kali jam 06.00 dan 18.00. Dan jika ada yang melayani, tiap hari diadakan kumpulan doa jam 09.00 dan 15.00. Para rasul berhak membaptiskan orang. Sampai di Nederland-pun mereka telah mendirikan gereja kerasulan, walaupun anggotanya hanya beberapa orang saja. Dalam suatu kebaktian hari Minggu, Mr. Anthing hadir juga disitu. Dalam kebaktian itu ada orang perempuan yang bernubuat bahwa Mr. Anthing hendaknya diangkat menjadi rasul di Indonesia. Nubuat ini diterima oleh Jemaat sebagai yang datang dari Tuhan. Kemudian Mr. Anthing diangkat menjadi Rasul di Indonesia. Dan perempuan tersebut akhirnya dinikah menjadi istrinya.

Setelah mereka berdua kembali ke Batavia, Mr. Anthing memulai dengan usahanya mendirikan gereja kerasulan dan istrinya sebagai nabiah. Sebagai rasul ia membaptiskan orang. Sejak gereja itu didirikan ternyata tak ada persoalan apa-apa, baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak gereja-gereja lain. Ini berarti bahwa gereja Kerasulan itu diakui sah oleh Pemerintah. Tetapi setelah ia meninggal dunia, diantara murid-muridnya banyak yang masuk gereja-gereja Zending. Hubungan antara Mr. Anthing dan Sadrach memang sangat erat. Hati Sadrach sangat terharu ketika mendengar dari Liem Tjhing Kiang bahwa Mr. Anthing gurunya telah meninggal dunia, maka ia berniat mengunjungi kuburannya untuk menyatakan penghormatannya, serta menengok keluarga Anthing dan jemaatnya. Pada suatu hari ia berangkat menuju Batavia bersama Markus dan Yotham Martorejo. Perjumpaan antara Sadrach dan Ny. Anthing mengingatkan kembali pada masa lampau. Sadrach sangat tertarik ketika ia mengikuti kebaktian di jemaat kerasulan, apalagi posisi gereja kerasulan itu bebas. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk masuk Kerasulan. Keputusan Sadrach yang sangat menentukan itu memang dapat menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda-beda. Bisa dikatakan kedudukannya daripada mempertimbangkan soal-soal ajaran agama Kristen. Bisa juga ditafsirkan sebagai keputusan untuk mempertahankan pandangannya yang teguh bahwa kekristenan Jawa lain dengan kekristenan Belanda.

Sadrach ditahbiskan menjadi rasul Jawa pada tahun 1899 di Batavia oleh Rasul Hannibal, disaksikan oleh para pembantunya yang setia yaitu Markus dan Yotham. Dengan demikian Sadrach diperbolehkan melayani sakramen-sakramen gerejani: membaptiskan orang dan melayani perjamuan suci. Untuk pertama kali pada tanggal 30 April 1899, ia melayani perjamuan suci di Karangjoso. Jemaat-jemaat yang dibawah pimpinan Sadrach, setelah Sadrach diangkat menjadi Rasul mereka memutuskan hubungan dengan pendeta Adriaanse.

Dengan keputusan Sadrach itu, maka tertutuplah kemungkinan yang dirintis oleh Adriaanse. Kedudukan Sadrach makin kuat, baik keluar maupun ke dalam. Gereja Kerasulan Jawa ini diberi nama Gereja Kerasulan Zebulon. Walaupun secara lahir adalah Jemaat Kerasulan, tetapi dalam prakteknya sehari-hari tetap memakai peraturan-peraturan yang lama yang sudah ditetapkan oleh Sadrach dan Wilhelm. Bedanya ialah sekarang Sakramen-sakramen Gerejani dilayani oleh Sadrach sendiri dan pejabat-pejabat Gerejani ditambah sesuai dengan gereja kerasulan misalnya: Imam, Opzicther, rasul dan sebagainya. Sadrach sebagai rasul jarang berkeliling, tetapi cukup jemaat itu diperintahkan dari Karangjoso saja dibantu oleh Markus dan Yotham. Jaman ini Sadrach dan jemaatnya sungguh-sungguh menikmati kemerdekaan Kristen. Tetapi sayang, dalam kemerdekaan itu sama sekali tidak diisi untuk membangun dan memperluas jemaatnya menurut ajaran Kerasulan. Apa sebabnya ? Mungkin Sadrach sendiri kurang jelas dengan ajaran-ajaran yang baru, atau takut kalau dikatakan orang sebagai tukang merubah peraturan sehingga dalam hal ini membingungkan para pengikutnya. Selama ini tidak ada peristiwa-peristiwa penting, hanya hubungan dengan gereja kerasulan di Batavia tetap berlangsung, juga dengan gereja kerasulan di Cimahi Jawa Barat yang sekarang menjadi pusat Gereja Kerasulan di Indonesia.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

15. PENDETA L. ADRIAANSE

N.G.Z.V. merasa tidak ada kemampuan lagi untuk mengatasi Jemaat-jemaat terutama di daerah-daerah di Jawa Tengah bagian Selatan. Maka tugas selanjutnya diserahkan kepada Deputaat Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland bagian urusan Zending yang disebut : “ZENDING GERFORMEEDE KERKEN” (ZGK). Tahun 1894 Synode menyetujui dan menerima baik tugas itu, mengingat bahwa Zending bukan tugas perkumpulan diluar jemaat, tetapi adalah tugas Jemaat juga. Dengan demikian ZGK menerima daerah Jawa Tengah yang keadaannya agak kacau itu.

Para Deputaten telah mengundang para pendeta dari Gereja-gereja di Nederland untuk mengadakan Musyawarah Kerja. Maka oleh Deputaat Synode diminta kesediaannya supaya Gereja-gereja mengutus seorang pendeta ke daerah Bagelen.
Ds. L. Adriaanse pendeta dari Gereja Gereformeerd di Zeist, menyatakan kesediaannya menjadi pendeta utusan ke daerah yang parah itu.

Pada pertengahan Januari 1895, Pendeta Adriaanse tiba di Purworejo, berdiam di rumah Wilhelm yang sudah 3 tahun ditinggal kosong. Dengan hati-hati ia mulai merintis kembali hubungan dengan Sadrach dan jemaat di Karangjoso. Sikap Sadrach tetap terbuka, menerima baik dan ramah. Ini membuktikan bahwa Sadrach bukanlah orang yang kasar dan suka permusuhan. Banyak petunjuk-petunjuk dan pelajaran dari Adriaanse untuk membaptiskan orang-orang di desa Jenar. Tetapi sebelum ia melakukan pembaptisan itu, menurut Adiraanse supaya orang-orang itu diberi pelajaran katekisasi lagi, dan inipun sangat disetujui oleh Sadrach. Ia mengadakan perkunjungan kepada jemaat-jemaat Sadrach.. Jemaat-jemaat ini menerima baik pendeta Belanda asal bisa kerjasama dengan gurunya. Dari pengalaman Adriaanse dalam pergaulannya dengan jemaat Sadrach, ia punya harapan baik, namun ia tetap hati-hati dalam tindakannya. Pernah Adriaanse mendapat undangan untuk melayani Kebaktian di Karangjoso pada tanggal 17 Mei 1896, tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri sebelum ia minta ijin kepada Nederland.

Segera ia mengirim surat kepada ZGK dan baru diijinkan dan dilaksanakan pada bulan Nopember 1896. Jelas bahwa Adriaanse masih sangat hati-hati. Apalagi mengingat Zeidena dan Scheurer sebagai rekan kerjanya masih menganggap bahwa Sadrach dan pengikutnya masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang bercampur dengan ketahayulan. Dalam hal itu timbul kecurigaan Sadrach, tindakan-tindakan Pendeta Belanda terlalu menggantungkan pada Nederland, hingga tak dapat mengambil keputusan sendiri, padahal menurut Sadrach bahwa segala tindakan pendeta Belanda sama sekali tidak melanggar peraturan-peraturan Gereja-gereja di Nederland. Sadrach ingin supaya Jemaatnya lebih maju dalam pengertian hal Kitab Suci. Bahkan Sadrach lebih suka pendeta-pendeta Belanda mencampuri dalam memberi pelajaran-pelajaran sesuai dengan peraturan-peraturan Gerejani, dan lebih suka lagi apabila orang-orang Kristen Jawa bisa meninggalkan adat-adat kebiasaannya yang bersifat ketahayulan itu. Bagi Sadrach dalam hal ini cukup dimengerti, memang Sadrach membiarkan mereka berbuat demikian asal tidak mengurangi kesungguhan mereka dalam menganut kepercayaan Kristen. Karena adat-adat kebiasaan orang-orang Jawa itu sudah sedemikian berakar, maka usaha Sadrach dalam pemberitaan Injil ia tidak meremehkan begitu saja nilai-nilai serta kebudayaan Jawa akan tetapi adat-adat kepercayaan orang Jawa itu diarahkan kepada kepercayaan dan pertobatan serta penyerahan kepada Tuhan Yesus Juruselamatnya.

Tetapi sayang, gereja-gereja di Nederland tidak percaya dan menyangsikan keadaan jemaat-jemaat yang di kuasai Sadrach. Memang Hal ini oleh gereja-gereja di Nederland masing sangat disangsikan, lebih-lebih Zuidema dan Scheurer; menurut pendapat mereka, Sadrach tidak mungkin dapat diperdamaikan. Anggapan-anggapan ini menyukarkan Adriaanse menuju perdamaian, hingga ia tak berani bertindak menurut pikiran dan hatinya sendiri. Padahal apa yang ia dengar dari Sadrach sendiri tentang pekerjaan Wilhelm hingga pada saat meninggal dunia adalah amat berjasa dan boleh dipuji karena semua dilakukan dengan penuh kebijaksaan dan pengertian; tapi sayang, apa yang dilakukan Wilhelm sama sekali tidak mendapat perhatian dari rekan-rekannya sendiri dan N.G.Z.V. . sebaliknya malahan dituduh sebagai murid Sadrach yang murtad.

Inspektur Lion cachet yang telah melihat dari dekat pun tidak mau menerima keterangan-keterangan Wilhelm malahan menuduh yang tidak-tidak bahwa Wilhelm tidak tegas dalam menjalankan tugasnya dan sangat lemah menghadapi Sadrach. Adriaanse pun sangat menyesali peristiwa yang pahit dan menyedihkan itu, tetapi Adriaanse pun tetap berlaku hati-hati untuk mengambil langkah mencegah pandangan-pandangan yang salah atau kesalahfahaman dari rekan-rekan sendiri, hingga tidak terjadi peristiwa seperti yang dialami Wilhelm.

Kecurigaan Sadrach makin kuat, maka ia mengambil keputusan untuk mengokohkan pendiriannya bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran oang Jawa, asal tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

14. TINDAKAN DAN KEPUTUSAN INSPEKTUR LION CACHET

Pertumbuhan Jemaat Kristen Jawa masih banyak kekurangan, ajaran-ajaran masih bercampur-baur. Namun ciri-ciri yang demikian itu, bagi Wilhelm cukup dimengerti dan ia berusaha sebijaksana mungkin untuk membawa Sadrach dan murid-muridnya ke arah hidup yang sesuai dengan Alkitab. Ia duduk berdampingan sama tinggi di tengah-tengah jemaat ini.

Laporan-laporan Wilhelm kepada bestuur di Nederland (N.G.Z.V.) memang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Majalah-majalah gerejani memuat perkembangan ini. Dan kenyataannya Wilhelmlah yang mendapat tempat di hati Sadrach, diantara para Zendeling. Dialah yang menonjol baik dalam kerjasama maupun hasilnya.
Pada saat itu daerah Banyumas bekerja Ds. Vermeer, di Pekalongan dan Tegal bekerja Ds. Horstman dan di Purworejo, Zuidema bekerja sebagai guru sekolah Keuchenius. Mereka melihat sendiri bahwa pengikut-pengikut Sadrach, dalam hidup kekristenannya sangat menyimpang. Banyak kritik-kritik/tuduhan yang dilancarkan oleh para Zendeling ini, yang didasarkan praktek-praktek hidup mereka. Kritik-kritik berupa tulisan tidak hanya ditujukan kepada Wilhelm saja sebagai rekan kerja, tapi juga kepada N.G.Z.V. di Nederland. Keadaan yang kurang menyenangkan ini juga sering dibicarakan dalam Rapat Kerja.

Tahun 1891 berita tentang Sadrach sebagai orang besar dan terhormat serta disembah-sembah telah tersiar dan tersebar dalam dunia Zending Gereformeerd. Sadrach disebut sebagai : Imam, Kyai, Kanjeng bapak, sebutan-sebutan ini merupakan penghormatan dan untuk meninggikan Sadrach, yang tidak seharusnya demikian bagi seorang pemimpin Kristen. Sadrach juga dipandang sebagai orang yang sakti sebab ia dapat menyembuhkan orang sakit dan tempat tinggalnya merupakan tempat keramat yang tak sembarang orang kuat menempatinya.

Horstman melaporkan bahwa ia melihat sendiri, pengikut Sadrach menganggapnya sebagai ganti yang akan melaksanakan segala sesuatu. Lebih-lebih dengan gelar “Suropranoto” yang mengandung maksud keilahian yang mengatur. Horstman juga melihat sendiri bahwa dimana nama Yesus diberitakan, tapi pikiran orang diarahkan kepada Sadrach. Dikatakan bahwa Sadrach adalah jelmaan, yang tak dilahirkan, tak berobah, tak sakit, tak mati, ia adalah pengejawantahan Kristus. Demikian kesan Horstman. Selanjutnya didengar pula langsung dari pengikut Sadrach bahwa orang Yahudi adalah orang Jawa dan bahasa Jawa adalah bahasa orang Yahudi. Injil dan Roh Allah diberikan dalam bahasa itu. Sebab itu Qur’an dengan bahasa Arab tak diperlukan lagi. Mereka percaya bahwa Injil telah keluar dan diberitakan dalam bahasa Jawa dalam diri Sadrach. Mereka percaya bahwa Injil dalam bahasa Jawa adalah text asli.

Murid Sadrach yang bernama Yeremia dan Yakub Tumpang yang giat mengadakan PI mengajarkan bahwa Sadrach adalah Ratu Adil. Dalam rapat di Karangjoso, Yeremia telah mendapat peringatan tentang hal ini. Tetapi menurut pengertian Yeremia, Kristus sebagai Ratu Adil telah menjelma dalam diri Sadrach, dan dikatakan bahwa Kristus akan datang kembali menjelma sebagai Sadrach. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan Gusti dan Suropranoto, ini jelas dianggap sebagai ketuhanan yang mengatur, seperti gelar Raja Salad an Yogya yang ada pada orang-orang atau pengikut-pengikut Sadrach dan penyelewengannya.

Pendeta Vermeer di Purbolinggo pun sependapat dengan Horstman sebab ia juga mengurusi orang-orang Sadrach yang ada di daerah Banyumas. Demikian juga Zuidema mempunyai pandangan yang sama.
Bestuur N.G.Z.V. mempelajari semua laporan itu. Didalam mempertimbangkan laporan-laporan itu dipelajari juga pekerjaan zending di Jawa Timur, juga tulisan Ds. Jans tentang Tunggul Wulung; ditambah lagi pendapat Bieger ketika pulang ke Nederland. Semua ini berlawanan dengan laporan Wilhelm. Berstuur N.G.Z.V. mengkhawatirkan jemaat Kristen Jawa yang cepat berkembang itu akan cepat layu pula.
Kemudian bestuur menetapkan untuk mengirim seorang inspektur untuk memeriksa seluruh pekerjaan N.G.Z.V. di Jawa. Maka dipilih orang yang sudah berpengalaman salah seorang anggota bestuur yaitu Ds. F. Lion Cachet, pendeta dari Rotterdam, yang pernah ke Afrika Selatan dan bergaul dengan pendeta-pendeta PI dan orang-orang Negro.
Ia berangkat bulan Maret 1891 dan tiba di Batavia Juni 1891. Ia telah menulis segala pengalaman perjalanannya ini dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul : EENJAAR OP REIS IN DIENST DER ZENDING. Dalam perjalanan ke daerah-daerah selalu disertai oleh pendeta setempat. Dan pada waktu memeriksa daerah Bagelen, ia disertai oleh Pendeta Wilhelm.

Apa yang didapati di daerah Bagelen banyak persamaannya dengan apa yang dilaporkan Horstman, Vermeer dan sebagainya. Sepanjang perjalanan Wilhelm selalu dimarahi. Beberapa pengalaman dalam perjalanan ini yang memperkuat pendapat Lion Cachet, antara lain misalnya pada perjalanan di Kutoarjo. Ia melihat Mbok Kadar sakit di pasar, lalu pergi ke Karangjoso minta air dari Sadrach, lalu diminumnya supaya sembuh. Pernah Lion Cachet mendapat penghormatan bahkan disembah-sembah, dicium ujung sepatunya, tetapi ia marah-marah. Bagi orang Jawa, sikap Lion Cachet aneh sekali, sebab pada umumnya orang menerima penghormatan dengan senang hati, tetapi dia malah marah-marah. Bagi orang Jawa sudah biasa, bahkan sebagai pelaksanaan hukum kelima.

Di desa Bulu Lion Cachet menjumpai orang yang mengatakan bahwa Gusti adalah yang membahagiakan mereka. Kemudian Lion Cachet bertanya : siapa yang dimaksud Gusti itu ? Apakah Yesus atau Sadrach ? Sebab pengikut Sadrach menyebut gurunya itu “Gusti” (Panutan) yang ditaati ajarannya dan nasehatnya. Dari pernyataan Lion Cachet jelas bahwa sebelum datang ke Jawa ia sudah membawa prasangka.
Bagi Wilhelm yang mengetahui lebih banyak keadaan orang Jawa melihat sikap Lion Cachet itu kasar dan menyakiti hati. Adat kesopanan Jawa tak dihiraukan sama sekali, bahkan ia sangat meremehkan. Apalagi ia menganggap diri sebagai pemimpin mereka, kedudukan Sadrach direndahkan. Lion Cachet tidak mau menerima jika orang memberikan penghormatan terhadap Sadrach. Bagi Lion Cachet adalah hal yang aneh atau tak mungkin jika Sadrach memang mengajarkan murid-muridnya dengan sungguh-sungguh sebab pada kenyataannya adalah penyelewengan.

Demikianlah hasil pemeriksaaan Lion Cachet terhadap Jemaat-jemaat Kristen Jawa. Memang sebelum kedatangannya ia telah banyak dipengaruhi oleh laporan-laporan, hingga seolah-olah ia sudah menjatuhkan vonis lebih dulu sebelum pemeriksaan. Dalam perjalanan di daerah Banyumas, Vermeer yang sudah lanjut usia, dicela pekerjaannya, kemudian dipensiunkan. Tak lama kemudian Vermeer meninggal dunia pada saat Lion Cachet masih di Purworejo. Setelah selesai pemeriksaan, para tenaga Zending berapat untuk mengambil keputusan yang penting. Mereka sependapat bahwa Sadrach adalah guru yang menyeleweng dan menyimpang dari ajaran Kristen, ini harus disingkirkan dari N.G.Z.V. termasuk juga pembantu-pembantunya. Dan melarang pendeta Wilhelm mengadakan hubungan dengan mereka lagi.

Wilhelm harus ikut menanda tangani keputusan tersebut. Memang diakui bahwa banyak hal-hal yang masih bercampur dengan kepercayaan lain, namun tidak berarti bahwa mereka harus dibubarkan. Menurut pendapatnya dalah suatu tindakan yang kurang bijaksana. Sebab siapa yang dapat menilai kekristenan Jawa, harus mengetahui betul-betul watak dan hati dan keistimewaan orang Jawa lebih dulu. Keistimewaan itu tak terletak disepanjang jalan besar dimana mudah dapat dilihat oleh wisatawan yang hanya sepintas lalu. Tetapi ini adalah suatu kekayaan yang terpendam dalam sekali. Dan ini hanya dapat ditemukan dengan cara hidup bersama dengan mereka, hingga dapat mengenal betul-betul barulah memberi penilaian yang objektif.

Lion Cachet disini boleh dikatakan seperti kaum wisatawan yang hanya sepintas lalu mengenal orang Jawa, apalagi sudah ada apriori. Keputusannya sangat tidak bijaksanan sebab ini berarti menutup kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan. Ini bisa berakibat seperti Gandum mati sebab ilalang dicabut. Semangat untuk memurnikan gereja tidak bisa dengan jalan memecah. Dan ia tak menyadari bahwa pengikut Sadrach sangat setia pada gurunya. Setelah keputusan ini Wilhelm datang di Karangjoso menyatakan bahwa keputusan ini bukanlah kehendaknya. Ia hanya taat kepada pimpinan saja. Sebab kalau tidak demikian ia akan dipecat. Dalam persoalan ini Sadrach menjawab dengan tegas bahwa jika Wilhelm dipecat oleh N.G.Z.V. orang Kristen Jawa menyediakan tanah untuk hidupnya. Di sini nampak kepribadian dan jiwa besar yang sudah biasa tak tergantung pada siapapun. Dan seharusnyalah Jemaat yang memikul keperluan pendetanya.

Wilhelm mengenangkan segala peristiwa tindakan Inspektur Lion Cachet yang sama sekali tidak mau mengerti segala adat-istiadat orang Jawa, serta tak mau menerima segala keterangan yang diberikan. Sayang pada peristiwa itu Wilhelm tidak mempunyai pembela. Ia tunduk pada putusan tersebut. Di dalam sekejap mata ia tidak hanya kehilangan cita-citanya tetapi segala karyanya hancur berantakan. Tak lama ia menghayati kehancuran ini. Sebelum Inspektur Lion Cachet tiba di tanah airnya di Nederland pada tanggal 3 Maret 1892 Wilhelm telah dipanggil oleh Tuhan ketempat baka pada usia 37 tahun.

Lion Cachet kembali ke Nederland pada tanggal 18 Januari 1892. Sepeninggalnya Lion Cachet, daerah N.G.Z.V. di Jawa menjadi lebih parah, karena ada dua orang pendeta Zending telah meninggal dunia yaitu Vermeer dan Wilhelm. Dua tenaga yang penting untuk daerah Jawa tengah bagian selatan, sebab nyata bahwa keduanya itu adalah pendeta Belanda yang dapat bekerja dan mengerti sedalam-dalamnya rahasia-rahasia yang dimiliki orang Jawa, hingga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.
Dengan meninggalnya Wilhelm yang amat dikasihinya, Sadrach, Yohanes dan Markus dari Banjur, berikut para pengikutnya berduyun-duyun datang di Purworejo mengikuti upacara pemakaman, menyatakan turut berdukacita. Jasa Wilhelm tak mudah dilupakan oleh Sadrach dan Jemaatnya di daerah Karangjoso. Wilhelm tetap diakui sebagai Pendeta dan guru yang bijaksana, yang mengerti akan sifat dan watak orang Jawa. Ialah satu-satunya pendeta Belanda yang dapat bekerja sama dalam bidang PI diantara orang-orang Jawa yang masih banyak kekurangan dan yang memerlukan bimbingan ke arah kemajuan.

Keputusan Lion Cachet dan meninggalnya Wilhelm niscaya menyebabkan kehancuran total. Segala pengharapan bahwa Jemaat Sadrach akan kembali kepangkuan Zending lenyap sebagai asap dimalam buta. Pintu yang semula terbuka lebar-lebar sekarang tertutup rapat-rapat. Dan akibat itu membawa kemunduran dan kerugian yang besar di pihak N.G.Z.V. sendiri, sedang kedudukan Sadrach tak goyah sama sekali, bahwa sepeninggalnya Wilhelm orang-orang Jawa tetap terikat dengan gurunya. Kewibawaan Sadrach tetap menguasai orang-orang Kristen baik di daerah Bagelen maupun di daerah Banyumas dan Pekalongan. Anak-anak yang bersekolah di sekolah Keuchenius yang diasuh oleh Zuidema, semuanya ditarik kembali ke kampungnya masing-masing. Dengan demikian merupakan suatu pukulan yang hebat lagi dipihak N.G.Z.V. Lebih-lebih pula jemaat-jemaat Jawa dalam wilayah N.G.Z.V. mengalami kehancuran total, yang semula jumlah anggota 6.374 orang dan kini hanya tinggal 150 orang saja meliputi daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Di Jemaat di Purworejo hanya terdapat 37 orang, daerah Temon 32 orang, daerah Tegal Pekalongan 60 orang dan daerah Banyumas (Purbolinggo) kira-kira hanya 30 orang saja.

Setibanya Lion Cachet di Nederland, segera ia memberi laporan-laporan kepada bestuur N.G.Z.V. Dengan terjadinya kemunduran Jemaat di Jawa Tengah bagian Selatan amat disedihkan dan disesalkan oleh Pengurus tersebut, karena tindakan yang terburu-buru dari Lion Cachet. Bestuur mengalami kebingungan, karena apakah yang harus dilakukan untuk mengembalikan jemaat-jemaat itu pada kedudukan semula. Ini berarti kerugian besar bagi N.G.Z.V. dalam usaha-usahanya. Pada saat yang penuh dengan penyesalan itu, Lion Cachet mencoba mengusulkan kepada Bestuur N.G.Z.V. mengutus seorang dokter Zending untuk daerah Purworejo. Ada kemungkinan besar dengan jalan pengobatan akan membawa mereka kembali kepada jalan yang benar.
Usul disetujui, maka Dr. J.G. Scheurer diutus sebagai dokter Zending untuk melayani di daerah Bagelen. Ia tiba di Batavia pada tanggal 9 Mei 1893. Sebelum ia ke Purworejo, untuk sementara ia tinggal di Solo perlu belajar bahasa Jawa. Pada tanggal 13 Desember 1893 barulah ia tiba di kota Purworejo.


(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

13. PRAKTEK-PRAKTEK KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN JAWA MARDIKA

Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan iman mereka, tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah mengakar dalam diri mereka.

Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial

A. Soal Tempat Kebaktian dan Kebaktiannya.

Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah imam (Kamitua). Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin kebaktian pada hari Jumat. Sudah menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan agama Islam), didirikan langgar. Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.

Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis dengan rumah-rumah sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa dipakai untuk memanggil orang-orang sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan kepada Sadrach, mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan untuk membangun dan memanggil jemaat.

Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso, untuk mendapatkan bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja sebagaimana mereka memandang Masjid sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat. Mereka tak pernah mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.

Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja mereka mengucapkan doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa ini adalah kebiasaan mereka pada saat itu.

Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan

Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar kami laki/wanita dapat tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami diberi kekuatan didalam memuji NamaMu, dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa kami. Amin”.

Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa dengan isi Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara soal melodi barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.

B. Upacara Adat

Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen Jawa upacara selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya. Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan penyerahan makanan kepada roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan tetapi selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama imam berkata (misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai dengan hidangan yang lezat ini sebagai ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan baik.”

Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari hama-hama. Orang-orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-sajian tertentu untuk Dewi Sri dan Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di gereja, membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman Adam ketika ia akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan. Sesudah kebaktian di gereja, mereka makan bersama.

Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat formulirnya dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah meninggal dan telah sempurna, kami berdoa kepadaMu ya Tuhan, sebagai sukma kepada sukma, kami menyerahkan keadaan orang yang meninggal ini kepadaMu, Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang menentukan Amin.” Kemudian berdoa lagi tanpa bahasa Arab, isinya : ”Oh Bapa kami, kami menyerahkan roh ini, semoga selalu ada disisiMu. Agar roh itu kembali masuk dalam kesucianMu. Agar kamipun yang masih hidup di dunia ini kelak kembali keasalnya pula. Amin.” Setelah imam menghadap keutara, ia pindah tempat menghadap ke selatan dengan membaca doa bahasa Arab dan Jawa, yang isinya : supaya badan kembali kepada tanah dan sukma kembali kepada Tuhan. Imam pindah lagi menghadap ke barat dengan doa setengah bahasa Arab dan setengah bahasa Jawa, isinya : “Ya Tuhan di surga, yang dalam hakekatnya sifatnya dan Namanya adalah kebenaran sejati sumber hidup manusia dan dunia. Dunia ini hanya sementara saja, tetapi Engkau kekal selamanya. Amin.” Akhirnya ditutup dengan doa bahasa Arab. Sesudah itu menyanyi bersama. Di rumah diadakan upacara selama tujuh hari dari hari kematian.
Sadrach mengatur upacara demikian dengan maksud menghilangkan ejekan orang Islam, yang mengatakan bahwa orang Kristen jika meninggal dunia hanya di timbun dengan tanah tanpa selamatan, seperti mengubur anjing saja.
Kebiasaan-kebiasaan yang mereka buang misalnya: pesta wayang, tayuban, ruahan (memperingati/menghormati para leluhur yang sudah mati. Ini kepercayaan asli Jawa yang oleh Islam diteruskan).

Sudah menjadi kebiasaan orang membaca rapal (rumusan doa tertentu untuk maksud-maksud tertentu) agar tidak diganggu oleh roh yang menguasai tempat yang dituju, untuk ini Sadrach juga membuat rapal-rapal untuk orang sakit, yang disertai dengan ludah, ditiup, digosok, obat Jawa, air kencing Sadrach dan sebagainya.
Hal lain yang menarik ialah upacara baptisan anak-anak. Air baptisan diambil dari sumber mata air, diberi bunga-bunga, setelah upacara baptisan mereka berdoa dengan membakar kemenyan.

Demikianlah upacara adat masih hidup dalam hati mereka. Orang-orang Kristen tak mudah begitu saja melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Walaupun dengan tegas orang Kristen membuang beberapa kebiasaan, tetapi masih banyak unsur-unsur kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam tetap hidup. Sadrach memasukkan ajaran-ajaran Kristen melalui adat kebiasaan mereka agar ajaran itu berakar dalam hati orang-orang Jawa.

C. Siasat dalam Jemaat

Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih luas menyangkut segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-tertib untuk mengadakan kesucian gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara lain : tentang orang yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang menikah Islam, beristri dua, orang yang jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya menyangkut hidup imam dan orang awam.

Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini diberhentikan dan diganti yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi. Kemudian Sadrach datang sendiri membaca : Kejadian-kejadian dan diberi peringatan. Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia tidak boleh mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa dihadapan Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.

Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu untuk cuci muka. Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-10. Dan kemudian ia diakui kembali sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak. Sebelumnya sudah dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang pertama diceraikan dan kawin dengan orang lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi orang Kristen. Bagi mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya dibaptiskan. Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.

Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah ada yang dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian Pemerintah, hidup kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang berurusan dengan polisi. Tertib membayar pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat. Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.

D. Pelayanan Sosial

Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah Sadrach banyak anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli tanah bekas tanah pabrik dengan uang pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang miskin. Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk melawan praktek-praktek lintah darat. Pinjaman bunga hanya satu persen sebulan. Dalam enam bulan harus lunas. Mereka mendirikan semacam bank kredit. Tiap setahun menyetorkan sepuluh sen, jadi tiap bulan satu duit (duabelas duit setahun = sepuluh sen). Hal ini tak langsung diurus oleh Sadrach melainkan oleh anggotanya sendiri.

Demikianlah praktek-praktek dalam kehidupan Jemaat Kristen Jawa. Wilhelm sebagai pendeta cukup berat tugasnya. Di sini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebab Wilhelm harus menghadapi orang-orang Kristen dimana kepercayaannya masih campur aduk dengan adat-adat yang bertentangan dengan iman Kristen. Rupanya bagi orang Jawa, adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang itu, sukar sekali dilepaskan. Dalam hati mereka masih ada rasa takut, baik takut terhadap kekuatan magis maupun takut dikatakan orang yang tak mau hidup bermasyarakat sebab meninggalkan adat. Walaupun demikian mereka bangga dengan sebutan Kristen dengan seorang bapak Sadrach, di tengah-tengah masyarakat yang tradisinya masih kuat.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

12. DS. WILHELM MEMPERKUAT KEDUDUKAN JEMAAT YANG MEMANGGILNYA.

Setelah Wilhelm ditetapkan menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa, segera ia membuat surat kepada Gubernur Jenderal yang berisi permintaan, agar golongan Sadrach jangan digabungkan dengan gereja Negara dan jangan disalurkan dibawah pimpinan salah seorang pembantu (Hulpprediker), sebab mereka tak menginginkan hal itu. Mereka menginginkan tetap bebas dan berhak mempunyai pendeta Belanda. Dalam surat itu dilampirkan surat yang menerangkan bahwa mereka dengan nama : Jemaat Kristen Jawa Mardika (Pasamuwan Kristen Jawi Mardika), telah memanggil pendeta Wilhelm sebagai pendetanya dengan tanda tangan 83 ketua kelompok. Surat itu bertangal 17 April 1883 sewaktu mereka berapat di Karangjoso.

Tentang nama Jemaat Kristen Jawa Mardika ini berarti bahwa jemaat ini tidak di bawah gereja Negara atau Zending. Karena nama itu menunjukkan isi dan dasar hati Kyai Sadrach. Sadrach menarik bangsanya sendiri menjadi Kristen bukan diajak untuk menjadi Belanda atau diajak untuk menjadi beban orang-orang Kristen Belanda, melainkan diajak untuk berdiri sendiri, meskipun di tengah mereka bekerja seorang pendeta Belanda. Inilah sikap yang patut dihargai, lebih-lebih pada saat itu. Walaupun kuno dan sederhana tetapi disini dapat terlihat jiwa besar.
Sikap dan langkah Wilhelmpun sangat berharga, sebab dengan pengiriman surat pada Pemerintah Pusat ini berarti ia berusaha agar supaya Jemaat Kristen Jawa Mardika dikenal, diakui dan dimengerti kedudukan serta sikapnya oleh pihak Pemerintah. Inilah tindakan pertama dari Wilhelm untuk menguatkan status Jemaat yang akan dilayani dan berdasarkan hukum yang berlaku.

Tindakan selanjutnya ia harus menghadapi pekerjaan raksasa yang tidak ringan didalam jemaat sendiri, baik dalam kerohanian maupun organisasinya. Pekerjaan yang besar sebab jumlah murid Sadrach menurut catatan baptisan ada 1.596 orang di Bagelen, di Banyumas mungkin separuh dari jumlah itu belum terhitung yang didaerah Pekalongan dan sebagainya. Jumlah kelompok ada 23 buah, letaknya terpencar dimana-mana, sedang transportnya sangat sulit. Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Wilhelm sebelumnya, terutama ketika pertemuan dengan 83 utusan dari kelompok itu, dan ia tak menunjukkan keberatannya semua akan dikerjakan dengan senang hati.

Sebelum Wilhelm bekerja di situ, dalam jemaat sudah ada peraturan-peraturan yang berjalan. Misalnya Kebaktian Minggu di kelompok-kelompok dipimpin oleh tua-tua kelompok yang dapat membaca. Andaikata Kebaktian Minggu belum dapat berjalan dalam suatu kelompok mereka datang ke kelompok lain yang terdekat. Ditiap kelompok ditempatkan tua-tua yang disebut “kamitua”. Aturan-aturan lain yaitu pertemuan tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso. Dengan diatur demikian maka Jemaat dapat menampakkan ikatan yang besar dan kuat. Jika mengingat kekristenan Sadrach, tentunya ia mendapat sedikit pengetahuan jabatan gerejani dari Ds. Taffer, yaitu pengalamannya sewaktu ia menjadi murid Mr. Anthing di Batavia (Jawa Barat) dan Ds. Hoezoo di Jawa Tengah dan Ds. Jellesma di Jawa Timur.

Cara Sadrach memimpin tidak dengan musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan orang lain, tetapi dengan cara memberi perintah, petunjuknya haru ditaati. Biasanya perintah atau pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk diberikan melalui pembantunya yaitu Markus dan Yohanes. Demikianlah bidang yang akan dikerjakan oleh Wilhelm. Ia bekerja sendiri, sebab rekannya yaitu Bieger pada pertengahan tahun 1884 pulang ke negeri Belanda.

Pada bulan Juni 1883, Sadrach dan Wilhelm pergi ke Boncon, selatan Purworejo, disitu diresmikan berdirinya Gereja Kristen, dengan ditetapkannya tua-tua. Sejak tanggal 13 April 1884 Wilhelm telah membaptiskan dipelbagai tempat jumlah 69 orang.
Dalam organisasi dibidang kegerejaan Wilhelm mulai dengan cara desentralisasi, mengingat luas dan besarnya daerah kerja. Maka dibentuk Klasis, dimana jemaat-jemaat berkumpul dan diadakan Sinode setahun sekali di Karangjoso. Pertemuan tigapuluh lima hari sekali kemudian diganti menjadi empat kali dalam setahun. Tetapi ini hanya bertahan sampai tahun 1892, sebab orang-orang ingin erat hubungan antara guru dan murid.

Wilhelm dan Sadrach menerbitkan buku anggota dan buku baptisan. Dalam hal kerohanian, Wilhelm tahu bahwa pengetahuan Alkitab sangat sedikit dan bercampur dengan kepercayaan lain. Kemudian ia membuat Katechismus, Seratus empat cerita dan aturan-aturan Jemaat dan semuanya ditulis dalam bahasa Jawa.
Karena sedikit sekali orang dapat membaca dan menulis, ia mendirikan beberapa sekolah akan tetapi ia merasa kekurangan tenaga sehingga ia minta kepada N.G.Z.V. untuk mendirikan sekolah calon Guru, serta mengirim guru serta pendeta dengan tugas mengajar disekolah. Usul tersebut disetujui dan pada bulan Januari 1888, J.P. Zuiderma dikirim, lalu membuka sekolah guru yang diberi nama “KEUCHENIUSSCHOOL”. Disamping itu Ds. Wilhelm juga mengajar dan memberi kursus-kursus kepada tua-tua kelompok untuk menambah dan memperdalam pengetahuan Alkitab dan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam tugas mereka sebagai tua-tua kelompok.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

11. DS. WILHELM DIANGKAT MENJADI PENDETA JEMAAT KRISTEN JAWA KARANGJOSO

Sementara itu sebelum Bieger meninggalkan Purworejo dari pihak Gereja Negara sedang berusaha untuk menguasai jemaat-jemaat Sadrach, sama halnya dengan Bieger. Ds. Heyting datang sendiri ke Karangjoso untuk keperluan itu pada bulan Maret 1883. Sadrach menolak kemudian Sadrach pergi ke rumah Wilhelm, yang pada pokoknya meminta agar Wilhelm sudi menjadi pendeta untuk orang-orang Kristen Jawa yang dipimpin Sadrach. Wilhelm bersedia dan ini diberitahukan kepada pendeta Gereja Negara dan Bieger.

Hari Kamis tanggal 22 Maret 1883 menjelang hari Minggu Paskah Bieger tidak mengijinkan Gereja untuk kebaktian orang Kristen Jawa dibawah pimpinan Sadrach, jadi terpaksa kebaktian diadakan di serambi rumah Wilhelm. Dari peristiwa tersebut nampak kejengkelan Bieger terhadap pimpinan Wilhelm atas orang-orang Kristen Jawa. Bahwa Wilhelm lebih disenangi dari pada Bieger. Pendeta Gereja Negara juga marah kepada Wilhelm, sebab ini berarti mempersempit usaha Heyting untuk menguasai Sadrach.
Pada hari Minggu semua kelompok Sadrach berkumpul sebanyak 83 orang datang di Purworejo di rumah Wilhelm yaitu mereka dari daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Mereka bersatu menyatakan keinginannya yaitu agar Wilhelm bersedia menjadi pendeta mereka. Pembicaraan belum selesai, maka pertemuan ini diteruskan di Karangjoso pada tanggal 10 April 1883.

Ds. Wilhelm memberitahukan pertemuan ini kepada pendeta Heyting dan mengharap agar jangan mencampuri utusan mereka. Tetapi Heyting merasa tidak senang, ia datang juga ke Karangjoso dengan tujuan untuk membatalkan surat panggilan yang akan ditandatangani oleh tua-tua semua jemaat dan tanda tangan Sadrach dibawah sendiri dengan kedudukan sebagai guru agama Kristen di Karangjoso. Heyting marah sekali dan berkata jika maksud itu diteruskan semua tanggung jawab ada ditangan mereka. Pertemuan itu berjalan terus dan menyelesaikan surat panggilan untuk pendeta Wilhelm. Kemudian surat panggilan disampaikan kepada Wilhelm.

Di sini terwujudlah suatu kerjasama antara utusan N.G.Z.V. dengan Kyai Sadrach dan golongannya. Ini berarti bahwa golongan Sadrach adalah golongan yang berdiri sendiri yang memanggil pendeta Wilhelm dan dia berhak menerima atau menolak panggilan pendeta itu. Keduanya mempunyai pertanggungan jawab dihadapan Tuhan Raja Gereja. Pendeta harus memberikan segala yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus kepada gereja-nya dan jemaat harus mendengar kepada hamba Tuhan yang menyampaikan firman Tuhan serta segala ajaran-ajaran Kristen. Kerjasama ini berarti juga bahwa N.G.Z.V. memberikan bantuannya berupa seorang pendeta kepada Jemaat Kristen Merdeka, berdasarkan kesediaan hati bagi kemuliaan Nama Tuhan Yesus. Demikianlah seharusnya status mereka. Peristiwa yang telah lampau itu memang membingungkan sebab dalam kejadian-kejadian diatas jelaslah bahwa urusan gereja telah bercampur-aduk dengan urusan Negara.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

Kidung Yang Sunyi

Kidung Yang Sunyi

Senin, 11 Januari 2010

10. DS. WILHELM BERUSAHA BEKERJASAMA DENGAN SADRACH.

Setahun sebelum peristiwa penangkapan Sadrach, N.G.Z.V. telah mengutus seorang pendeta muda bernama Ds. J. Wilhelm. Ia berdiam disamping rumah Bieger, sebagai pendeta Zending ia datang di Purworejo pada bulan Pebruari 1881. Ia bekerja tidak sebagai pendeta, tetapi membuka sekolah dan mengajar sebagai guru agama. Meskipun selama hampir setahun tinggal di Purworejo, tapi ia tak mengetahui soal peristiwa Sadrach, sebab ia menganggap itu bukan urusannya. Sedangkan Bieger sama sekali tidak memberitahu atau menceritakan soal itu kepada Ds. Wilhelm. Mungkin Bieger ingin mengatasi soal-soal ini sendiri, sebab ia anggap bahwa Wilhelm masih muda dan kurang pengalamannya. Ia mulai menaruh perhatian dan curiga dengan adanya beberapa anggota polisi menjaga rumah Bieger. Akhirnya ia mengetahui peristiwa itu. Ia agak heran, mengapa Bieger sama sekali tidak pernah menceritakan peristiwa itu. Ia mulai berkenalan dengan Sadrach di rumah Bieger, tapi tidak sekali-kali turut campur urusan Bieger. Hubungan kedua orang itu makin erat. Ds. Wilhelm memang suka bergaul dengan orang-orang Jawa lagipula ia pandai berbahasa Jawa. Dan tindakan Wilhelm yang manis budi dapat dirasakan juga oleh Sadrach. Wilhelm seorang pendeta yang masih sangat muda tapi sabar dan bijaksana itu tercermin dalam sikap dan kata tuturnya.

Siapa Wilhelm itu ? Jakob Wilhelm dilahirkan pada tangal 6 April 1854 di Ommen, Overijsel Nederland. Ayahnya bekerja sebagai dokter hewan. Setelah lulus dari pendidikan Theologia di Dedemsvaart, kemudian ia mengambil ujian untuk memasuki Sekolah Perguruan Theologia bagian calon pendeta utusan pada “De Utrechtsche Zendings Vereniging (U.Z.V.) tetapi sayang tidak diterima. Dengan pertolongan Ds. Witteveen di Ermelo, ia dapat memasuki sebagai mahasiswa calon pendeta utusan pada “Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereniging (N.G.Z.V.) dikota Leiden. Mula-mula ia menjadi murid Ds. J.H. Donner. Disini ia mendapat pelajaran bahasa Jawa dan Pengetahuan Umum selain Alkitab.

Dengan berkat Tuhan, ia lulus pada ujian terakhir sebagai calon Pendeta Utusan, pada tahun 1879. Menurut keputusan rapat N.G.Z.V. di Renkum dan Heelsum dengan persetujuan Gereja-gereja dalam lingkungan N.G.Z.V., Jakob Wilhelm dipilih dan diangkat menjadi pendeta Utusan untuk Daerah Bagelen, sebagai pembantu Ds. Bieger. Pelantikan sebagai Pendeta Utusan dilakukan pada tanggal 17 Nopember 1880. Dan pada tanggal 28 Pebruari 1881 bersama isterinya, ia tiba di kota Purworejo. Mula-mula oleh Bieger, ia diperkenalkan kepada jemaat-jemaat dalam lingkungan daerah Bagelen. Semuanya itu sebelum terjadi peristiwa Sadrach.

Menurut Ds. Wilhelm, setelah mengadakan tinjauan ke jemaat-jemaat di daerah Bagelen, ternyata bahwa keadaan orang-orang Kristen Jawa sebagian besar masih buta huruf dan sama sekali tidak ada kemajuan. Kepercayaannya berdasarkan cerita-cerita yang didengar saja, maka ia menghendaki untuk membuka sekolah terutama bagi anak-anak Jawa, supaya dikemudian kelak dapat memimpin jemaat Tuhan dengan lebih sempurna. Mula-mula ia mengumpulkan anak-anak dari pelbagai tempat untuk diberi ajaran menulis dan membaca dalam bentuk praktis, dan diadakan di pelbagai tempat. Dengan demikian ternyata mendapat banyak kemajuan. Lambat laun murid-murid makin banyak, hingga Wilhelm merasa tak mampu lagi untuk melayani sendiri. Demi kepentingan Pendidikan Sekolah, maka atas usul Ds. Wilhelm kepada N.G.Z.V., telah dibangun sebuah gedung sekolah Pendidikan Kristen di Kota Kutoarjo dan dibuka dengan resmi pada tanggal 10 Januari 1888 dengan nama Sekolah KEUCHENIUS, sebagai guru sekolah, N.G.Z.V. telah mengutus J.P. Zuidema.

Setelah Sadrach diamankan di rumah Bieger, maka Bieger kemudian mengadakan kegiatan-kegiatannya. Tanggal 10 April 1882, diadakan kebaktian di gereja yang terletak di halaman rumah Pendeta Bieger. Diadakan bukan hari Minggu melainkan hari Senin. Dalam kebaktian itu dilayani Perjamuan Kudus. Sadrach hadir juga dalam kebaktian itu, dan murid-murid Sadrach hadir juga. Bieger mengetahui bahwa hubungan murid-murid dengan gurunya masih kuat, sehingga Perjamuan kudus itu berjalan dalam suasanan yang tidak enak.

Hari-hari berikutnya Bieger berkeliling ke-kelompok-kelompok. Di situ terdapat banyak orang yang belum dibaptiskan, meskipun mereka sudah menerima pelajaran-pelajaran agama Kristen dari Sadrach dan pembantu-pembantunya. Dalam bulan April 1882, Bieger telah membaptiskan sejumlah enam ratus enam puluh delapan (668) orang. Jumlah sebesar itu, dikarenakan sejak Gereja Jawa dipisahkan dari Gereja Negara (Belanda) oleh Thieme dan sepeninggalnya Ny. Philips sama sekali tidak ada baptisan. Orang sebanyak itu, adalah hasil kerja Sadrach dan pembantu-pembantunya. Baptisan itu dilakukan di gereja Purworejo, Karangjoso, Banjur, Karangjambu, Kedungpring, Karangpucung, Pondok dan Kedungdawa

Bulan Mei 1882 lagi di: Purworejo, Ngawu-awu, Jelok, Sapuran, sebanyak 243 orang. Menyusul bulan Agustus 1882 sebanyak 12 orang di Purworejo. Tahun 1883 seorang dan tahun 1884 dua orang, lalu berhenti. Jumlah keseluruhan yang telah dibaptiskan oleh Bieger sebanyak 961 orang, dan inilah sebagai tahun kepuasan Bieger, sebab segala cita-cita telah tercapai, yaitu mencapai kedudukan. Sadrach telah disingkirkan dan ia telah berhasil membaptiskan orang banyak sekali.

Tetapi akhir tahun 1882 merupakan saat yang pahit, karena pada tanggal 10 Juni 1882 ada surat kawat dari Pemerintah Pusat (Gubernur Jendral) di Bogor kepada Residen Bagelen, yang berisi perintah agar melepaskan Sadrach kembali ke Karangjoso dan boleh melakukan tugas seperti semula.

F’s Jacob yang berkedudukan sebagai Gubernur Jendral di Bogor sejak tahun 1881, setelah mendengar beberapa laporan, tidak dapat membenarkan tindakan Residen Ligvoet dari Bagelen yang telah memfitnah Sadrach, yang terang tidak bersalah atau melakukan kejahatan terhadap hukum Negara. Sebagai Residen telah mempergunakan haknya secara sewenang-wenang terhadap sesama orang. Tindakan itu sungguh tidak bijaksana. Maka sebelum terlambat, segera ia mengirim kawat, supaya Sadrach segera dilepaskan dan dikembalikan ketempat kediamannya di Karangjoso, kemudian Ligvoet dihentikan dari jabatan sebagai Residen di Purworejo. Ia telah dipindahkan sebelum Sadrach di bebaskan.

Sadrach meninggalkan tempat kediaman Bieger kembali ke Karangjoso diiringkan oleh murid-muridnya. Kedatangannya di Karangjoso disambut dengan gembira oleh penduduk setempat terutama orang-orang Kristen. Sadrach masih tetap diakui sah sebagai guru. Ketika diadakan kebaktian hari Minggu di Karangjoso, hadir juga Residen, Bupati, Asisten Residen, Kontrolir dari Purworejo dan Kutoarjo. Dengan demikian sebagai tindakan Rehabilitasi, hal ini merupakan suatu pukulan yang berat bagi Bieger. Ia kecewa dengan kebebasan Sadrach, dan Ligvoet sudah turun dari jabatannya sebagai Residen telah pindah ke lain kota. Dengan kehendak sendiri ia mengirim surat kepada N.G.Z.V. dengan maksud hendak pulang ke negeri Belanda. Tetapi ia harus tunggu dua tahun lagi, baru pada tahun 1884 ia diperkenankan kembali ke negeri Belanda.

Pekerjaan Wilhelm makin bertambah banyak, karena selain tugas di daerah Bagelen, iapun oleh N.G.Z.V. diserahi untuk melayani daerah Tegal, menggantikan pekerjaan Ds. Ulenbusch, yang belum lama telah dihentikan dari pekerjaanya. Jemaat di daerah Tegal dan Pekalongan sudah menjadi anggota N.G.Z.V. sejak tahun 1882.

Sebelum Sadrach meninggalkan rumah Bieger, memang telah ada kata sepakat dan berjanji akan mengadakan kerjasama dalam bidang pemberitaan Injil dengan saling membantu.

Ketika Sadrach kembali ke Karangjoso pada tahun 1883, makin nyatalah hubungan mereka makin erat seolah-olah tidak dapat terpisah satu sama lain. Mereka telah melakukan pemberitaan Injil bersama kepelbagai tempat dengan jalan berkuda.

Setelah Bieger meninggalkan Purworejo pada tahun 1884, bagi Sadrach dan orang-orang Kristen Jawa ada suatu keuntungan sebab hasil-hasil pemberitaan Injil mereka telah dibaptiskan oleh Bieger. Hampir semua masih setia kepada gurunya, hanya sebagian kecil sekali yang tak menggabung dengan Karangjoso, misalnya Akimdarmo dan Kesingi.
Tak lama kemudian setelah Sadrach kembali ke Karangjoso, ia pergi ke rumah Wilhelm untuk memasukkan anak angkatnya bernama Yotham, anak Markus dari Banjur. Yotam adalah seorang murid yang setia dan sangat dikasihi oleh Wilhelm. Kemana gurunya pergi selalu diikuti oleh Yotam. Ia banyak membantu pekerjaan gurunya.


Ds. Wilhelm merasa sangat berkewajiban dimana ia harus mengasuh Jemaat-jemaat itu, karena anggota-anggota jemaat diantaranya masih terdapat kepercayaan-kepercayaan takhayul dan buta huruf dan sangat kurang pengertian mereka mengenai Alkitab. Dengan penuh kebijaksanaan dan ketekunan, sedikit demi sedikit ia memberi pelajaran-pelajaran terutama pelajaran dari Katakhismus, 12 pengakuan kepercayaan rasuli dan Peraturan Gereja.


Untuk pertama kali telah diadakan konperensi di Karangjoso yang dihadiri oleh wakil-wakil jemaat di seluruh Begelen dengan maksud mengadakan pembentukan tua-tua dan penempatan tenaga guru-guru Injil ditiap jemaat. Dalam konperensi, dilakukan pembagian Klasis dan setiap setahun sekali diadakan pertemuan sinode di Karangjoso yang dihadiri oleh wakil-wakil Klasis. Daftar anggota lebih ditertibkan. Dan menganjurkan kepada semua jemaat supaya memasukkan anak-anaknya ke sekolah Pendidikan Guru Injil di Purworejo.

Untuk menghadapi jemaat-jemaat itu, Wilhelm bertindak sebijaksana mungkin, karena ia mengetahui dengan cara bagaimana harus melayani jemaat-jemaat dan juga terutama Sadrach yang masih kurang pengertiannya mengenai Kitab Suci. Semua itu ia lakukan sedikit demi sedikit dan semua itu dilakukan dengan ramah dan penuh kesabaran dan bijaksana. Tak pernah ia menghalang-halangi apa yang ditindakan oleh Sadrach, maka dengan demikian ia sangat disukai oleh Sadrach dan jemaat di Karangjoso. Usaha membuka pendidikan Kristen itu sungguh berhasil, sebab ternyata bahwa anak-anak muda yang telah lulus dari Sekolah Keuchenius akan mewarisi semua Jemaat Kristen Jawa serta membawa ke arah kemajuan dan kelebaran Kerajaan Allah.

http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

Rabu, 06 Januari 2010

9. DS. BIEGER, UTUSAN N.G.Z.V. DAN MASALAH GEREJA-GEREJA DI BAWAH PIMPINAN SADRACH.

Dari laporan Ds. Vermeer, N.G.Z.V. memandang perlu mengutus utusannya untuk bekerja di daerah Bagelen. Dua tahun kemudian setelah meninggalnya Ny. Philips, pada tahun 1878, diutuslah Ds. Bieger ke daerah ini. Sebelum ia melakukan pekerjaannya, untuk sementara ia di Tegal.
Mula-mula ia bertempat tinggal di Kutoarjo. Pada waktu ia datang ke daerah itu, kedudukan Sadrach sudah cukup kuat sebagai pemimpin orang-orang Kristen Jawa Merdeka.
Tujuan Ds. Bieger yang pertama ialah mengadakan pembicaraan dengan Sadrach tentang pimpinan orang-orang Kristen Jawa, dan menghendaki supaya Sadrach menyerahkan pimpinan itu kepada Ds. Bieger. Sungguh aneh dan mengherankan, apalagi bagi Sadrach hal ini tidak bisa dimengerti. Apakah tugas seorang pendeta Zending itu memang demikian ? Apakah Ds. Bieger tidak mengerti bahwa Sadrach dan kelompok-kelompoknya tak ada sangkut pautnya dengan gereja Negara maupun N.G.Z.V. ? Memang dulu Ds. Vermeer telah membaptiskan orang-orang yang di bawa oleh Sadrach, tetapi menurut anggapan Sadrach, hal itu bukan berarti bahwa mereka itu menjadi anggota gereja Negara atau N.G.Z.V. Dan pula usaha Ds. Vermeer dimana gereja-gereja di daerah Bagelen termasuk Karangjoso diakui sah sebagai anggota N.G.Z.V., hal ini sebenarnya oleh Sadrach dianggap sebagai bantuan yang diperlukan untuk kebutuhan gereja, dan bukan untuk menguasainya.
Sadrach sendiri tak mengerti sebenarnya status gereja Negara, N.G.Z.V dengan kelompoknya sendiri. Tetapi jelas menurut pandangan Sadrach, bahwa adanya kelompok-kelompok dan perkembangan jemaat-jemaat di daerah Karangjoso adalah hasil jerih payah Sadrach dan kawan-kawannya. Dan Sadrach telah diakui sah sebagai pimpinan mereka. Andaikata Sadrach menanyakan kepada murid-muridnya tentang maksud Bieger itu, tentu mereka akan menolaknya. Bieger adalah orang asing yang begitu datang terus minta kedudukan. Ini sukar diterima oleh Sadrach.
Usaha Bieger selanjutnya adalah mendekati Abisai. Dengan mudah daerah kerja Abisai diserahkan kepada N.G.Z.V. atau tangan Bieger. Dalam hal ini, pendirian Abisai jauh berbeda dengan Sadrach. Dia tetap mengakui bahwa daerah kerjanya menjadi anggota N.G.Z.V hingga pernyataan Bieger hal penyerahan itu bukanlah menjadi soal Ilahi dan pada saat itu jemaat di Purworejo sedang dalam keadaan parah. Pada saat itu Abisai dijadikan pembantu Bieger dengan gaji tigapuluh gulden. Menurut anggapan Bieger, Sadrach harus dapat ia kuasai seperti Abisai. Ia harus sekali lagi mengadakan pertemuan dengan Sadrach untuk maksud itu, tetapi Sadrach tetap pada pendiriannya tak mau menyerah.
Persoalan ini sedikitnya dalam waktu tiga puluh lima hari sudah tersebar di seluruh pelosok kelompok. Baik tiap murid Sadrach maupun jemaat-jemaat di wilayah Sadrach mengetahui persoalan ini. Ternyata aturan yang ditetapkan Sadrach memang tepat. Murid-muridnya mengerti kehendak gurunya dan gurunya-pun mengerti kesetiaan murid-muridnya. Ini menyebabkan pendirian Sadrach tetap teguh.
Pada suatu hari Sadrach menerima surat panggilan dari pembesar setempat, yaitu Bupati Kutoarjo dan Asisten Residen. Ia diminta keterangannya tentang bagaimana sikapnya terhadap permintaan Bieger. Sadrach menjawab bahwa ia tetap pada pendiriannya. Sejak itu Sadrach mengerti bahwa Bieger dalam usahanya untuk menguasainya telah memakai alat Negara.
Sadrach telah menerima juga peraturan-peraturan Gereja tertulis dari Bieger, tetapi peraturan-peraturan yang diberikan itu oleh Sadrach ditolak. Menurut anggapan Sadrach peraturan-peraturan itu tak dapat dijalankan karena terlalu sukar dimengerti oleh jemaat. Pokok utama, bukannya dengan dasar Kitab Suci atau pelajaran-pelajaran agama, tetapi cukuplah dengan berbagai cara lain asal orang mau bertobat dan menyerahkan hidupnya kepada Juruselamat Yesus Kristus, maka Sadrach tetap tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan yang diberikan.
Bieger berusaha dengan berbagai macam jalan, supaya Sadrach mau menerima peraturan-peraturan gereja itu. Sadrach tidak menghendaki kalau N.G.Z.V. turut campur urusan jemaat-jemaat sekitar Karangjoso.
Ketika Bieger pindah ke Purworejo dan bertempat tinggal di kampung Plaosan, ia mengadakan hubungan dengan Residen Ligvoet yang berkedudukan di Purworejo, setelah didengar keterangan-keterangan maka Ligvoet menaruh curiga atas tindakan Sadrach, dikuatirkan kalau Sadrach mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Dengan demikian maka diutus beberapa anggota polisi untuk mengamat-amati segala gerak-gerik Sadrach. Tetapi suatupun tiada terdapat kesalahan yang melanggar hukum pemerintah. Sedang para petugas pemerintah itupun dapat pula memuji dan menganggap pimpinan Sadrach itu baik. Karena tiada suatu kejahatan yang terdapat, maka Sadrach tak mungkin ditangkap tanpa alasan.
Dalam tahun 1882 wabah penyakit cacar menjalar di daerah Bagelen, hingga penduduk yang berada di daerah itu oleh Pemerintah diharuskan mencacarkan diri. Jawatan Kesehatan mengirim para mantri cacar ke pelosok-pelosok desa untuk mengadakan pencacaran penduduk.
Karena pencacaran itu dilakukan dengan cara paksa, maka Sadrach tidak setuju cara yang dilakukan itu. Pengaruh Sadrach di daerah itu amat besar, hingga di daerah itu terdapat hanya sedikit saja yang telah mencacarkan diri, dengan demikian menjadi keheranan bagi para mantri cacar tersebut. Setelah diselidiki dan diperoleh keterangan dari beberapa orang, disebabkan pengaruh Sadrach. Dengan alasan-alasan itu cukup sebagai bukti untuk menangkap Sadrach. Kemudian Residen mengirim beberapa anggota polisi buat menangkap Sadrach. Peristiwa penangkapan itu terjadi pada bulan Maret 1882 yang cukup mengejutkan, Sadrach ditangkap dan dimasukkan dalam Penjara atas perintah Residen Ligvoet. Penangkanan itu diberitahukan juga kepada Ds. Heyting, pendeta dari Gereja Negara, dengan alasan penangkapan soal cacar. Bahwa menurut laporan-laporan yang diperoleh, Sadrach tidak memperbolehkan orang-orangnya dicacar. Alasan-asalan itu sebenarnya salah.
Residen ligvoet dengan beberapa anggota polisi datang di tempat kediaman Sadrach dengan maksud akan mencari dokumen-dokumen yang bertujuan akan memberontak kepada Negara. Penggeledahan telah dilakukan dengan keras, tetapi sia-sialah. Karena ternyata tidak mendapatkan suatu bukti yang bermaksud jahat. Yang diketemukan adalah sebuah tombak kecil, yaitu satu-satunya senjata Sadrach yang diperuntukkan membela diri jika ada pencuri atau perampok. Pada saat penggeledahan, hadir juga beberapa murid-murid Sadrach, misalnya Markus, Yohanes dan lain-lain lagi. Setelah Residen mendapat banyak keterangan dari Debora, istri Sadrach, para penggeledah kemudian meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat Pemerintah menutup Gereja di Karangjoso sejak peristiwa penggeledahan itu. Tapi Yohanes tetap memimpin Kebaktian pada hari Minggu, seolah-olah tidak mempedulikan larangan itu. Karena itu Yohanes ditangkap dan dihadapkan kepengadilan di Purworejo. Dalam perkara itu Residen sendiri yang menjadi hakim pengadilan, disitu hadir juga Bieger. Putusan terakhir diserahkan kepada Bieger. Yohanes diperbolehkan mengajar asal menurut peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Kemudian ia diperkenankan pulang. Yohanes menyatakan sanggup dan bersedia melakukan keputusan tersebut.
Sementara Sadrach ditahan dipenjara, pada tanggal 15 Maret 1882 ada pertemuan besar dari kelompok-kelompok Sadrach. Pertemuan ini diadakan atas undangan (pangggilan) Residen Ligvoet. Mereka datang dengan rasa takut, sebab gurunya tidak ada, mereka kuatir akan mengalami nasib yang sama seperti gurunya. Pertemuan itu dihadiri oleh ketua-ketua kelompok dari Bagelen dan Banyumas, dan dari pihak Pemerintah hadir Residen, Bupati Kutoarjo, Kepala Jaksa Purworejo. Jaksa Kutoarjo, Assisten Residen Kutoarjo, dan dari pihak Gereja, hadir Ds. Heyting, pendeta gereja Negara dan Ds. Bieger. Dalam pertemuan itu diumumkan bahwa Sadrach diberhentikan dari kedudukannya sebagai pemimpin mereka dan diasingkan dari Karangjoso, sebagai gantinya yaitu Ds. Bieger. Peristiwa ini terkenal diantara murid-murid Sadrach dengan nama “peristiwa Jum’at Wage” yang tak terlupakan dimana mereka kehilangan gurunya.
Para pejabat pulang, Bieger tinggal bersama mereka. Sudah menjadi kebiasaan menurut pandangan orang Jawa, jika ada orang kena kecelakaan dianggap sebagai hukuman Tuhan (bahasa Jawa : Kena dendaning Pangeran). Apakah peristiwa yang menimpa diri Sadrach juga dipandang demikian ?
Muris-murid Sadrach memandang peristiwa ini bukan sebagai persoalan kedudukan gurunya, tetapi hanya soal cacar saja. Dalam hati mereka, Sadrach tetap sebagai gurunya, walaupun Bieger sudah ditetapkan sebagai pendeta mereka. Demikian Bieger mendapat kedudukan. Kedudukan ini diberi oleh Residen. Inilah jabatan dalam urusan kegerejaan, tapi anehnya Bieger juga menerima dengan senang hati, tanpa memikirkan nasib penderitaan orang lain, misalnya Jemaat-jemaat Sadrach yang kehilangan gurunya yang sangat dicintanya. Bukan pelayanan, melainkan kedudukan yang dikejar oleh Bieger sebagai pendeta utusan. Bagi orang Kristen Jawa yang belum mengerti peraturan-peraturan gereja, mendapat kesan bahwa begitulah cara orang Belanda mengatur gereja. Mereka menerima petunjuk dan ajaran dari Bieger dalam suasana hati yang masih kacau.
Peristiwa tersebut jika ditinjau dari etika orang Jawa menunjukkan bahwa utusan N.G.Z.V. datang di Bagelen untuk menduduki tikar yang sudah terhampar (bahasa Jawa : nglungguhi klasa gumelar), sedang yang menganyam tikar itu ialah Sadrach.
Lain halnya dengan Ds, Jellesma di Mojowarno. Telah nampak bahwa Ds. Jellesma lebih bertindak sebagai pelayan dari pada penguasa terhadap Paulus Tosari.
Pada tanggal 23 Maret 1882 diadakan pertemuan lagi. Kali ini diadakan di gedung Pemerintah Kutoarjo. Hadir duaratus orang. Pertemuan ini tidak hanya dihadiri ketua-ketua kelompok, tetapi juga murid-murid lain. Pertemuan itu bagi mereka suatu tanda tanya : mungkin pihak penguasa akan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap gurunya. Tetapi tidak demikian. Di sini mereka berkumpul kebaktian bersama dibawah pimpinan Bieger dengan renungan. Sesudah makan bersama, lalu diumumkan oleh Residen Ligvoet bahwa mulai saat itu, guru mereka Sadrach tak diperkenankan memberi ajaran apa-apa dan ia harus berada di Purworejo di rumah Bieger dengan dijaga oleh polisi. Memang itulah atas permintaan Bieger, supaya Sadrach tetap ditahan di rumahnya setelah ia melakukan peninjauan ke gereja-gereja di wilayah Bagelen dan daerah Pekalongan dan Tegal bagian baratdaya, karena disanalah terdapat banyak orang-orang Kristen yang berasal dari ajaran Sadrach.
Dalam kumpulan itu Sadrach menyatakan kesanggupannya. Dengan demikian Sadrach direndahkan dan dipermalukan. Nampaknya Sadrach mendapat keringanan sebab telah dikeluarkan dari penjara, tetapi sebenarnya hal itu dimaksudkan sebagai penghinaan didepan pengikut-pengikutnya, meruntuhkan kewibawaan Sadrach.
Di rumah Bieger, Sadrach seharusnya mengalami suasana yang tenang, sebab di rumah pendeta, bukan penjara. Tiap hari makan bersama, bicara-bicara soal kerohanian, baca Alkitab bersama dan saling memberi tuntunan, kalau demikian keadaannya, tentu besar sekali manfaatnya bagi Sadrach. Adapun maksud Bieger yaitu supaya Sadrach dapat menyadari segala tindakan yang salah dalam memberi ajaran-ajaran agama Kristen. Tindakan Bieger meskipun baik atau jelek, oleh Sadrach ditelan dengan sabar dan tenang. Segala nasehatnya diterima dengan baik. Hanya satu yang paling tidak disukai oleh Sadrach, yaitu cara tindakan diktator Bieger, yang sebenarnya tidak patut dilakukan oleh seorang pendeta. Sadrach mengetahui bahwa tindakan Bieger itu sebetulnya mempunyai tujuan dan maksud baik, tetapi belum saatnya dan tidak cocok untuk ditindakkan kepada orang-orang Jawa di desa-desa yang pengetahuannya masih jauh berbeda dibandingkan orang-orang Kristen di kota-kota besar atau di negeri Belanda. Pula Bieger tidak dapat menyelami apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang Jawa yang mempunyai latar belakang yang sangat lain, baik dilihat dari kepercayaan Kristen maupun kebudayaan Belanda. Ia tak dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang Jawa terutama di pelosok-pelosok desa.
(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

8. NY. PHILIPS MENINGGAL DUNIA DAN REAKSI SADRACH DALAM TINDAKAN SELANJUTNYA.

Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka terpaksa ia tak dapat melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan itu ia serahkan kepada Abisai dan Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny. Philips pada saat itu harus mengaso dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi Jemaatnya lagi. Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub, Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia berusaha sedapat mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny. Philips di situ membuat besar hati dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.

Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah mengurangi pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia menyerahkan segala pekerjaan dan hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih. Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny. Philips untuk memberi hiburan serta mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri hidupnya, sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach dan Abisai untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan senyuman telah menutup mata untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal kelahirannya di Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.

Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh Jawa Tengah dan beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita, sehingga nama harum Ny. Philips selalu teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang ditinggalkan itu tiada menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai urusan gereja, walaupun mereka kini mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta halaman berikut gereja di Tuksongo dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada seorang Tionghoa. Hal itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.

Mengingat keadaan itu, sungguh sangat menyedihkan bagi Jemaat di Purworejo. Pada saat itu, Abisai terpaksa mencari tempat lain untuk mengadakan kebaktian. Setelah diadakan perundingan bersama dengan Sadrach, maka untuk sementara kebaktian digabung di Karangjoso sebelum Abisai mendapat tempat.
Walaupun dengan penggabungan kebaktian itu, masih juga dirasa suatu penderitaan bagi Jemaat di daerah Purworejo, dimana mereka harus setiap minggu dengan jalan kaki menempuh jarak l.k. 20 kilometer jauhnya antara Purworejo dan Karangjoso.

Apakah dengan lenyapnya gereja Tuksongo berarti juga hancurnya kekristenan di Bagelen ? Tidak, sebab sebelum Ny. Philips wafat, ia telah menyampaikan isi hatinya dan pandangannya mengenai pemeliharaan kerohanian orang Kristen Jawa kepada kedua pembantunya yang setia yaitu Abisai Reksodiwongso dan Sadrach. Orang-orang Kristen di Purworejo dan sekitarnya diserahkan kepada Abisai dan daerah Karangjoso dan sekitarnya kepada Sadrach. Maka dengan demikian orang-orang Kristen Jawa dapat tetap bertahan, artinya tak melepaskan kepercayaan Kristen mereka.
Soal penyerahan pimpinan ini langsung diberitahukan oleh Sadrach kepada para pembantu-pembantunya yang bekerja di kelompok-kelompok. Menurut pendapat Sadrach dan kawan-kawannya, sekarang mereka tidak bergantung kepada siapapun. Mereka ingin mengatur dirinya, sebab itu mereka menyebut dirinya : Kristen Jawa Merdeka. Ini bukan kesombongan atau berdasar rasa benci, tetapi ini keadaan yang sebenarnya. Sebab Gereja Negara sudah tidak mau menganggap lagi dan Ny. Philips sudah meninggal dunia. Kemudian Sadrach telah mengumumkan nama barunya sebagai pemimpin orang Kristen Jawa Merdeka, dengan nama : SUROPRANOTO, yang berarti berdiri sendiri (berdikari) tidak dibawah siapapun, dan semuanya diatur menurut tata caranya sendiri (Mranata).

Soal ini bagi Sadrach sudah biasa, sebab ia sudah biasa hidup tak tergantung kepada orang lain. Situasi seperti ini mengingatkan Sadrach kepada gurunya dulu yaitu Kyai Tunggul Wulung, dimana pendeta Jawa tak tergantung kepada siapapun.
Sadrach dengan seribu lima ratus orang dewasa atau kurang lebih tiga ribu anggota ingin mengatur diri bersama-sama. Dia mengambil inisiatif dan menetapkan aturan-aturan bagi semua kelompok. Tiap-tiap tigapuluh lima hari sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon, semua ketua kelompok berkumpul di Karangjoso. Hari Selasa Kliwon bagi orang Jawa mendapat perhatian besar sebagai hari kelahiran Syiwa, dan tiap-tiap malam Selasa Kliwon di rumah atau di tempat keramat dan kuburan, orang membakar kemenyan. Dengan ditetapkannya hari itu untuk berkumpul maka perhatian kepada upacara pembakaran kemenyan beralih. Sebab yang datang dalam kumpulan itu tidak hanya wakil-wakil dari kelompok, tetapi orang-orang dari kaum awam juga. Ini merupakan pertemuan besar dibawah pimpinan Sadrach. Di situ dibicarakan soal-soal misalnya : jumlah anggota gereja, kelahiran, kematian, pemisahan kelompok-kelompok yang makin besar, menetapkan ketua-ketua kelompok, menentukan pembangunan rumah-rumah kebaktian dan sebagainya. Demikianlah semua kemungkinan di situ dikemukakan, diperbincangkan dan diatur. Dengan demikian hingga merupakan persatuan yang ampuh. Dari pelbagai tempat orang-orang itu berkumpul, berdoa, berbakti bersama-sama. Pada malam hari mereka bermalam di rumah Sadrach dan saling mengadakan perkenalan dan bercakap-cakap sebagai kakak beradik, bapak dan anak, hingga merupakan kekeluargaan yang penuh dengan kasih. Suasana yang tak diinginkan tak pernah terjadi, sebab mereka merasa menjadi tamu di rumah gurunya, mereka takut berbuat apa-apa yang kurang hormat dalam pertemuan itu. Soal makanan mereka, tak mungkin Sadrach menjaminnya. Para tamu membawa sendiri hingga tak dibebankan pada seorang saja. Aturan ini berjalan terus tak penah lowong, dan menunjukkan suatu keluarga yang besar dibawah seorang bapak Sadrach. Ikatan ini semakin kuat, sebab mereka dalam satu perguruan merasa seperti saudara-saudara sekandung. Keadaan sosial ekonomi umumnya cukup, sebab hampir setiap keluarga mempunyai sawah dan tanah sendiri.

Para murid-murid Sadrach menaruh kepercayaan besar kepada gurunya. Sikap dan kelakuan Sadrach bernilai tinggi diantara murid-muridnya. Ia seorang yang dapat menguasai diri. Tak banyak tertawa, orang yang serius, tak suka bersenda-gurau. Tak pernah mengejek atau menghina orang lain. Kenalannya tak hanya orang-orang yang rendah, tetapi sampai pejabat-pejabat tinggipun mengenal dia. Dengan demikian menambah gengsi dihadapan para murid-muridnya.
Kelompok Sadrach tetap bernama Kristen. Mereka menegakkan sepuluh Hukum dan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli dan biasanya itu dihafalkan pada tiap Kebaktian hari Minggu. Hal-hal inilah sebagai ciri orang-orang Kristen yang nampak di tengah-tengah masyarakat desa sekitar Karangjoso, dan ini memang merupakan persekutuan yang sangat bermutu.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

7. GEREJA-GEREJA JAWA MENJADI ANGGOTA N.G.Z.V.

Siapakah Pendeta Vermeer itu ? Baiklah kita ajak para pembaca menengok sejarah Pendeta tersebut yang banyak membantu dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa serta mengasihi Jemaat-jemaat Kristen Jawa yang masih muda.
Ds. Vermeer adalah seorang pendeta yang menjadi Pendeta utusan dari N.G.Z.V. (De Nederlandsch Gereformeede Zendings Vereniging) yaitu suatu Perkumpulan para Utusan dari Gereja-gereja Gereformeerd di negeri Belanda. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 6 Mei 1859 di kota Amsterdam dan menjadi satu-satunya partner di Jawa Tengah bagian Selatan.
Kedatangannya mula-mula di Tegal pada tanggal 14 Juni 1862 bersama keluarganya dan mula-mula ia ditugaskan di Jawa Tengah bagian utara, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1867 kedudukannya dipindah ke Jawa Tengah bagian Selatan. Bersama keluarganya mereka lalu menetap di Purbolinggo. Sejak ia di Tegal, ia belajar bahasa Jawa selama 5 tahun dan ketika ia dipindah tugasnya di Purbolinggo disambut dengan gembira terutama oleh Ny. Van Oostrom. Tugas mula-mula yang dikerjakan ialah melakukan pelawatan kepelbagai daerah dan desa-desa dengan disertai oleh Ny. Van Oostrom dan beberapa kawan sekerja. Dengan cepat Injil meluas di desa-desa hingga sampai di daerah-daerah pegunungan Dieng membujur sampai di pegunungan Slamet. Ny. Van Oostrom menceritakan banyak tentang pemberitaan Injil di Bagelen yang sangat maju hingga meluas sampai di daerah Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Timbulnya jemaat-jemaat didaerah pegunungan-pegunungan itu berasal dari daerah Bagelen. Diceritakan juga bagaimana cara kerja Pemberita-pemberita Injil di Bagelen yaitu Ny. Philips, Sadrach dan lain-lainnya, yang mempunyai semangat yang luar biasa. Ds. Vermeer sangat gembira ketika mendengar kabar itu. Lebih gembira lagi ketika rombongan para pemberita Injil datang di Banyumas untuk minta bantuan melayani Jemaat-jemaat di daerah Bagelen. Atas usaha Ds. Vermeer, Gereja-gereja Jawa di wilayah Banyumas menjadi anggota N.G.Z.V.
Dengan demikian maka segala kebutuhan Gereja dapat terjamin terutama buku-buku pelajaran Agama Kristen dan kitab-kitab Suci Bahasa Jawa. Semuanya itu terjadi pada tahun 1875.
Gereja Jawa di Bagelen diterima dan diakui sah menjadi anggota N.G.Z.V. berdasarkan laporan-laporan Ds. Vermeer dengan fakta-fakta yang nyata tentang kemajuan dan perkembangan Injil Kristus yang sangat cepat meluasnya. Dengan demikian keadaan daerah Bagelen menjadi perhatian besar di Gereja-gereja di negeri Belanda, lebih-lebih tindakan dan cara kerja Sadrach yang luar biasa.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html