Selasa, 12 Januari 2010

12. DS. WILHELM MEMPERKUAT KEDUDUKAN JEMAAT YANG MEMANGGILNYA.

Setelah Wilhelm ditetapkan menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa, segera ia membuat surat kepada Gubernur Jenderal yang berisi permintaan, agar golongan Sadrach jangan digabungkan dengan gereja Negara dan jangan disalurkan dibawah pimpinan salah seorang pembantu (Hulpprediker), sebab mereka tak menginginkan hal itu. Mereka menginginkan tetap bebas dan berhak mempunyai pendeta Belanda. Dalam surat itu dilampirkan surat yang menerangkan bahwa mereka dengan nama : Jemaat Kristen Jawa Mardika (Pasamuwan Kristen Jawi Mardika), telah memanggil pendeta Wilhelm sebagai pendetanya dengan tanda tangan 83 ketua kelompok. Surat itu bertangal 17 April 1883 sewaktu mereka berapat di Karangjoso.

Tentang nama Jemaat Kristen Jawa Mardika ini berarti bahwa jemaat ini tidak di bawah gereja Negara atau Zending. Karena nama itu menunjukkan isi dan dasar hati Kyai Sadrach. Sadrach menarik bangsanya sendiri menjadi Kristen bukan diajak untuk menjadi Belanda atau diajak untuk menjadi beban orang-orang Kristen Belanda, melainkan diajak untuk berdiri sendiri, meskipun di tengah mereka bekerja seorang pendeta Belanda. Inilah sikap yang patut dihargai, lebih-lebih pada saat itu. Walaupun kuno dan sederhana tetapi disini dapat terlihat jiwa besar.
Sikap dan langkah Wilhelmpun sangat berharga, sebab dengan pengiriman surat pada Pemerintah Pusat ini berarti ia berusaha agar supaya Jemaat Kristen Jawa Mardika dikenal, diakui dan dimengerti kedudukan serta sikapnya oleh pihak Pemerintah. Inilah tindakan pertama dari Wilhelm untuk menguatkan status Jemaat yang akan dilayani dan berdasarkan hukum yang berlaku.

Tindakan selanjutnya ia harus menghadapi pekerjaan raksasa yang tidak ringan didalam jemaat sendiri, baik dalam kerohanian maupun organisasinya. Pekerjaan yang besar sebab jumlah murid Sadrach menurut catatan baptisan ada 1.596 orang di Bagelen, di Banyumas mungkin separuh dari jumlah itu belum terhitung yang didaerah Pekalongan dan sebagainya. Jumlah kelompok ada 23 buah, letaknya terpencar dimana-mana, sedang transportnya sangat sulit. Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Wilhelm sebelumnya, terutama ketika pertemuan dengan 83 utusan dari kelompok itu, dan ia tak menunjukkan keberatannya semua akan dikerjakan dengan senang hati.

Sebelum Wilhelm bekerja di situ, dalam jemaat sudah ada peraturan-peraturan yang berjalan. Misalnya Kebaktian Minggu di kelompok-kelompok dipimpin oleh tua-tua kelompok yang dapat membaca. Andaikata Kebaktian Minggu belum dapat berjalan dalam suatu kelompok mereka datang ke kelompok lain yang terdekat. Ditiap kelompok ditempatkan tua-tua yang disebut “kamitua”. Aturan-aturan lain yaitu pertemuan tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso. Dengan diatur demikian maka Jemaat dapat menampakkan ikatan yang besar dan kuat. Jika mengingat kekristenan Sadrach, tentunya ia mendapat sedikit pengetahuan jabatan gerejani dari Ds. Taffer, yaitu pengalamannya sewaktu ia menjadi murid Mr. Anthing di Batavia (Jawa Barat) dan Ds. Hoezoo di Jawa Tengah dan Ds. Jellesma di Jawa Timur.

Cara Sadrach memimpin tidak dengan musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan orang lain, tetapi dengan cara memberi perintah, petunjuknya haru ditaati. Biasanya perintah atau pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk diberikan melalui pembantunya yaitu Markus dan Yohanes. Demikianlah bidang yang akan dikerjakan oleh Wilhelm. Ia bekerja sendiri, sebab rekannya yaitu Bieger pada pertengahan tahun 1884 pulang ke negeri Belanda.

Pada bulan Juni 1883, Sadrach dan Wilhelm pergi ke Boncon, selatan Purworejo, disitu diresmikan berdirinya Gereja Kristen, dengan ditetapkannya tua-tua. Sejak tanggal 13 April 1884 Wilhelm telah membaptiskan dipelbagai tempat jumlah 69 orang.
Dalam organisasi dibidang kegerejaan Wilhelm mulai dengan cara desentralisasi, mengingat luas dan besarnya daerah kerja. Maka dibentuk Klasis, dimana jemaat-jemaat berkumpul dan diadakan Sinode setahun sekali di Karangjoso. Pertemuan tigapuluh lima hari sekali kemudian diganti menjadi empat kali dalam setahun. Tetapi ini hanya bertahan sampai tahun 1892, sebab orang-orang ingin erat hubungan antara guru dan murid.

Wilhelm dan Sadrach menerbitkan buku anggota dan buku baptisan. Dalam hal kerohanian, Wilhelm tahu bahwa pengetahuan Alkitab sangat sedikit dan bercampur dengan kepercayaan lain. Kemudian ia membuat Katechismus, Seratus empat cerita dan aturan-aturan Jemaat dan semuanya ditulis dalam bahasa Jawa.
Karena sedikit sekali orang dapat membaca dan menulis, ia mendirikan beberapa sekolah akan tetapi ia merasa kekurangan tenaga sehingga ia minta kepada N.G.Z.V. untuk mendirikan sekolah calon Guru, serta mengirim guru serta pendeta dengan tugas mengajar disekolah. Usul tersebut disetujui dan pada bulan Januari 1888, J.P. Zuiderma dikirim, lalu membuka sekolah guru yang diberi nama “KEUCHENIUSSCHOOL”. Disamping itu Ds. Wilhelm juga mengajar dan memberi kursus-kursus kepada tua-tua kelompok untuk menambah dan memperdalam pengetahuan Alkitab dan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam tugas mereka sebagai tua-tua kelompok.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html