Selasa, 12 Januari 2010

13. PRAKTEK-PRAKTEK KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN JAWA MARDIKA

Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan iman mereka, tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah mengakar dalam diri mereka.

Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial

A. Soal Tempat Kebaktian dan Kebaktiannya.

Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah imam (Kamitua). Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin kebaktian pada hari Jumat. Sudah menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan agama Islam), didirikan langgar. Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.

Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis dengan rumah-rumah sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa dipakai untuk memanggil orang-orang sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan kepada Sadrach, mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan untuk membangun dan memanggil jemaat.

Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso, untuk mendapatkan bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja sebagaimana mereka memandang Masjid sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat. Mereka tak pernah mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.

Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja mereka mengucapkan doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa ini adalah kebiasaan mereka pada saat itu.

Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan

Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar kami laki/wanita dapat tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami diberi kekuatan didalam memuji NamaMu, dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa kami. Amin”.

Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa dengan isi Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara soal melodi barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.

B. Upacara Adat

Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen Jawa upacara selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya. Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan penyerahan makanan kepada roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan tetapi selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama imam berkata (misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai dengan hidangan yang lezat ini sebagai ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan baik.”

Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari hama-hama. Orang-orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-sajian tertentu untuk Dewi Sri dan Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di gereja, membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman Adam ketika ia akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan. Sesudah kebaktian di gereja, mereka makan bersama.

Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat formulirnya dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah meninggal dan telah sempurna, kami berdoa kepadaMu ya Tuhan, sebagai sukma kepada sukma, kami menyerahkan keadaan orang yang meninggal ini kepadaMu, Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang menentukan Amin.” Kemudian berdoa lagi tanpa bahasa Arab, isinya : ”Oh Bapa kami, kami menyerahkan roh ini, semoga selalu ada disisiMu. Agar roh itu kembali masuk dalam kesucianMu. Agar kamipun yang masih hidup di dunia ini kelak kembali keasalnya pula. Amin.” Setelah imam menghadap keutara, ia pindah tempat menghadap ke selatan dengan membaca doa bahasa Arab dan Jawa, yang isinya : supaya badan kembali kepada tanah dan sukma kembali kepada Tuhan. Imam pindah lagi menghadap ke barat dengan doa setengah bahasa Arab dan setengah bahasa Jawa, isinya : “Ya Tuhan di surga, yang dalam hakekatnya sifatnya dan Namanya adalah kebenaran sejati sumber hidup manusia dan dunia. Dunia ini hanya sementara saja, tetapi Engkau kekal selamanya. Amin.” Akhirnya ditutup dengan doa bahasa Arab. Sesudah itu menyanyi bersama. Di rumah diadakan upacara selama tujuh hari dari hari kematian.
Sadrach mengatur upacara demikian dengan maksud menghilangkan ejekan orang Islam, yang mengatakan bahwa orang Kristen jika meninggal dunia hanya di timbun dengan tanah tanpa selamatan, seperti mengubur anjing saja.
Kebiasaan-kebiasaan yang mereka buang misalnya: pesta wayang, tayuban, ruahan (memperingati/menghormati para leluhur yang sudah mati. Ini kepercayaan asli Jawa yang oleh Islam diteruskan).

Sudah menjadi kebiasaan orang membaca rapal (rumusan doa tertentu untuk maksud-maksud tertentu) agar tidak diganggu oleh roh yang menguasai tempat yang dituju, untuk ini Sadrach juga membuat rapal-rapal untuk orang sakit, yang disertai dengan ludah, ditiup, digosok, obat Jawa, air kencing Sadrach dan sebagainya.
Hal lain yang menarik ialah upacara baptisan anak-anak. Air baptisan diambil dari sumber mata air, diberi bunga-bunga, setelah upacara baptisan mereka berdoa dengan membakar kemenyan.

Demikianlah upacara adat masih hidup dalam hati mereka. Orang-orang Kristen tak mudah begitu saja melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Walaupun dengan tegas orang Kristen membuang beberapa kebiasaan, tetapi masih banyak unsur-unsur kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam tetap hidup. Sadrach memasukkan ajaran-ajaran Kristen melalui adat kebiasaan mereka agar ajaran itu berakar dalam hati orang-orang Jawa.

C. Siasat dalam Jemaat

Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih luas menyangkut segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-tertib untuk mengadakan kesucian gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara lain : tentang orang yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang menikah Islam, beristri dua, orang yang jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya menyangkut hidup imam dan orang awam.

Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini diberhentikan dan diganti yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi. Kemudian Sadrach datang sendiri membaca : Kejadian-kejadian dan diberi peringatan. Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia tidak boleh mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa dihadapan Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.

Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu untuk cuci muka. Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-10. Dan kemudian ia diakui kembali sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak. Sebelumnya sudah dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang pertama diceraikan dan kawin dengan orang lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi orang Kristen. Bagi mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya dibaptiskan. Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.

Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah ada yang dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian Pemerintah, hidup kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang berurusan dengan polisi. Tertib membayar pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat. Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.

D. Pelayanan Sosial

Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah Sadrach banyak anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli tanah bekas tanah pabrik dengan uang pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang miskin. Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk melawan praktek-praktek lintah darat. Pinjaman bunga hanya satu persen sebulan. Dalam enam bulan harus lunas. Mereka mendirikan semacam bank kredit. Tiap setahun menyetorkan sepuluh sen, jadi tiap bulan satu duit (duabelas duit setahun = sepuluh sen). Hal ini tak langsung diurus oleh Sadrach melainkan oleh anggotanya sendiri.

Demikianlah praktek-praktek dalam kehidupan Jemaat Kristen Jawa. Wilhelm sebagai pendeta cukup berat tugasnya. Di sini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebab Wilhelm harus menghadapi orang-orang Kristen dimana kepercayaannya masih campur aduk dengan adat-adat yang bertentangan dengan iman Kristen. Rupanya bagi orang Jawa, adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang itu, sukar sekali dilepaskan. Dalam hati mereka masih ada rasa takut, baik takut terhadap kekuatan magis maupun takut dikatakan orang yang tak mau hidup bermasyarakat sebab meninggalkan adat. Walaupun demikian mereka bangga dengan sebutan Kristen dengan seorang bapak Sadrach, di tengah-tengah masyarakat yang tradisinya masih kuat.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html