Selasa, 12 Januari 2010

14. TINDAKAN DAN KEPUTUSAN INSPEKTUR LION CACHET

Pertumbuhan Jemaat Kristen Jawa masih banyak kekurangan, ajaran-ajaran masih bercampur-baur. Namun ciri-ciri yang demikian itu, bagi Wilhelm cukup dimengerti dan ia berusaha sebijaksana mungkin untuk membawa Sadrach dan murid-muridnya ke arah hidup yang sesuai dengan Alkitab. Ia duduk berdampingan sama tinggi di tengah-tengah jemaat ini.

Laporan-laporan Wilhelm kepada bestuur di Nederland (N.G.Z.V.) memang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Majalah-majalah gerejani memuat perkembangan ini. Dan kenyataannya Wilhelmlah yang mendapat tempat di hati Sadrach, diantara para Zendeling. Dialah yang menonjol baik dalam kerjasama maupun hasilnya.
Pada saat itu daerah Banyumas bekerja Ds. Vermeer, di Pekalongan dan Tegal bekerja Ds. Horstman dan di Purworejo, Zuidema bekerja sebagai guru sekolah Keuchenius. Mereka melihat sendiri bahwa pengikut-pengikut Sadrach, dalam hidup kekristenannya sangat menyimpang. Banyak kritik-kritik/tuduhan yang dilancarkan oleh para Zendeling ini, yang didasarkan praktek-praktek hidup mereka. Kritik-kritik berupa tulisan tidak hanya ditujukan kepada Wilhelm saja sebagai rekan kerja, tapi juga kepada N.G.Z.V. di Nederland. Keadaan yang kurang menyenangkan ini juga sering dibicarakan dalam Rapat Kerja.

Tahun 1891 berita tentang Sadrach sebagai orang besar dan terhormat serta disembah-sembah telah tersiar dan tersebar dalam dunia Zending Gereformeerd. Sadrach disebut sebagai : Imam, Kyai, Kanjeng bapak, sebutan-sebutan ini merupakan penghormatan dan untuk meninggikan Sadrach, yang tidak seharusnya demikian bagi seorang pemimpin Kristen. Sadrach juga dipandang sebagai orang yang sakti sebab ia dapat menyembuhkan orang sakit dan tempat tinggalnya merupakan tempat keramat yang tak sembarang orang kuat menempatinya.

Horstman melaporkan bahwa ia melihat sendiri, pengikut Sadrach menganggapnya sebagai ganti yang akan melaksanakan segala sesuatu. Lebih-lebih dengan gelar “Suropranoto” yang mengandung maksud keilahian yang mengatur. Horstman juga melihat sendiri bahwa dimana nama Yesus diberitakan, tapi pikiran orang diarahkan kepada Sadrach. Dikatakan bahwa Sadrach adalah jelmaan, yang tak dilahirkan, tak berobah, tak sakit, tak mati, ia adalah pengejawantahan Kristus. Demikian kesan Horstman. Selanjutnya didengar pula langsung dari pengikut Sadrach bahwa orang Yahudi adalah orang Jawa dan bahasa Jawa adalah bahasa orang Yahudi. Injil dan Roh Allah diberikan dalam bahasa itu. Sebab itu Qur’an dengan bahasa Arab tak diperlukan lagi. Mereka percaya bahwa Injil telah keluar dan diberitakan dalam bahasa Jawa dalam diri Sadrach. Mereka percaya bahwa Injil dalam bahasa Jawa adalah text asli.

Murid Sadrach yang bernama Yeremia dan Yakub Tumpang yang giat mengadakan PI mengajarkan bahwa Sadrach adalah Ratu Adil. Dalam rapat di Karangjoso, Yeremia telah mendapat peringatan tentang hal ini. Tetapi menurut pengertian Yeremia, Kristus sebagai Ratu Adil telah menjelma dalam diri Sadrach, dan dikatakan bahwa Kristus akan datang kembali menjelma sebagai Sadrach. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan Gusti dan Suropranoto, ini jelas dianggap sebagai ketuhanan yang mengatur, seperti gelar Raja Salad an Yogya yang ada pada orang-orang atau pengikut-pengikut Sadrach dan penyelewengannya.

Pendeta Vermeer di Purbolinggo pun sependapat dengan Horstman sebab ia juga mengurusi orang-orang Sadrach yang ada di daerah Banyumas. Demikian juga Zuidema mempunyai pandangan yang sama.
Bestuur N.G.Z.V. mempelajari semua laporan itu. Didalam mempertimbangkan laporan-laporan itu dipelajari juga pekerjaan zending di Jawa Timur, juga tulisan Ds. Jans tentang Tunggul Wulung; ditambah lagi pendapat Bieger ketika pulang ke Nederland. Semua ini berlawanan dengan laporan Wilhelm. Berstuur N.G.Z.V. mengkhawatirkan jemaat Kristen Jawa yang cepat berkembang itu akan cepat layu pula.
Kemudian bestuur menetapkan untuk mengirim seorang inspektur untuk memeriksa seluruh pekerjaan N.G.Z.V. di Jawa. Maka dipilih orang yang sudah berpengalaman salah seorang anggota bestuur yaitu Ds. F. Lion Cachet, pendeta dari Rotterdam, yang pernah ke Afrika Selatan dan bergaul dengan pendeta-pendeta PI dan orang-orang Negro.
Ia berangkat bulan Maret 1891 dan tiba di Batavia Juni 1891. Ia telah menulis segala pengalaman perjalanannya ini dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul : EENJAAR OP REIS IN DIENST DER ZENDING. Dalam perjalanan ke daerah-daerah selalu disertai oleh pendeta setempat. Dan pada waktu memeriksa daerah Bagelen, ia disertai oleh Pendeta Wilhelm.

Apa yang didapati di daerah Bagelen banyak persamaannya dengan apa yang dilaporkan Horstman, Vermeer dan sebagainya. Sepanjang perjalanan Wilhelm selalu dimarahi. Beberapa pengalaman dalam perjalanan ini yang memperkuat pendapat Lion Cachet, antara lain misalnya pada perjalanan di Kutoarjo. Ia melihat Mbok Kadar sakit di pasar, lalu pergi ke Karangjoso minta air dari Sadrach, lalu diminumnya supaya sembuh. Pernah Lion Cachet mendapat penghormatan bahkan disembah-sembah, dicium ujung sepatunya, tetapi ia marah-marah. Bagi orang Jawa, sikap Lion Cachet aneh sekali, sebab pada umumnya orang menerima penghormatan dengan senang hati, tetapi dia malah marah-marah. Bagi orang Jawa sudah biasa, bahkan sebagai pelaksanaan hukum kelima.

Di desa Bulu Lion Cachet menjumpai orang yang mengatakan bahwa Gusti adalah yang membahagiakan mereka. Kemudian Lion Cachet bertanya : siapa yang dimaksud Gusti itu ? Apakah Yesus atau Sadrach ? Sebab pengikut Sadrach menyebut gurunya itu “Gusti” (Panutan) yang ditaati ajarannya dan nasehatnya. Dari pernyataan Lion Cachet jelas bahwa sebelum datang ke Jawa ia sudah membawa prasangka.
Bagi Wilhelm yang mengetahui lebih banyak keadaan orang Jawa melihat sikap Lion Cachet itu kasar dan menyakiti hati. Adat kesopanan Jawa tak dihiraukan sama sekali, bahkan ia sangat meremehkan. Apalagi ia menganggap diri sebagai pemimpin mereka, kedudukan Sadrach direndahkan. Lion Cachet tidak mau menerima jika orang memberikan penghormatan terhadap Sadrach. Bagi Lion Cachet adalah hal yang aneh atau tak mungkin jika Sadrach memang mengajarkan murid-muridnya dengan sungguh-sungguh sebab pada kenyataannya adalah penyelewengan.

Demikianlah hasil pemeriksaaan Lion Cachet terhadap Jemaat-jemaat Kristen Jawa. Memang sebelum kedatangannya ia telah banyak dipengaruhi oleh laporan-laporan, hingga seolah-olah ia sudah menjatuhkan vonis lebih dulu sebelum pemeriksaan. Dalam perjalanan di daerah Banyumas, Vermeer yang sudah lanjut usia, dicela pekerjaannya, kemudian dipensiunkan. Tak lama kemudian Vermeer meninggal dunia pada saat Lion Cachet masih di Purworejo. Setelah selesai pemeriksaan, para tenaga Zending berapat untuk mengambil keputusan yang penting. Mereka sependapat bahwa Sadrach adalah guru yang menyeleweng dan menyimpang dari ajaran Kristen, ini harus disingkirkan dari N.G.Z.V. termasuk juga pembantu-pembantunya. Dan melarang pendeta Wilhelm mengadakan hubungan dengan mereka lagi.

Wilhelm harus ikut menanda tangani keputusan tersebut. Memang diakui bahwa banyak hal-hal yang masih bercampur dengan kepercayaan lain, namun tidak berarti bahwa mereka harus dibubarkan. Menurut pendapatnya dalah suatu tindakan yang kurang bijaksana. Sebab siapa yang dapat menilai kekristenan Jawa, harus mengetahui betul-betul watak dan hati dan keistimewaan orang Jawa lebih dulu. Keistimewaan itu tak terletak disepanjang jalan besar dimana mudah dapat dilihat oleh wisatawan yang hanya sepintas lalu. Tetapi ini adalah suatu kekayaan yang terpendam dalam sekali. Dan ini hanya dapat ditemukan dengan cara hidup bersama dengan mereka, hingga dapat mengenal betul-betul barulah memberi penilaian yang objektif.

Lion Cachet disini boleh dikatakan seperti kaum wisatawan yang hanya sepintas lalu mengenal orang Jawa, apalagi sudah ada apriori. Keputusannya sangat tidak bijaksanan sebab ini berarti menutup kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan. Ini bisa berakibat seperti Gandum mati sebab ilalang dicabut. Semangat untuk memurnikan gereja tidak bisa dengan jalan memecah. Dan ia tak menyadari bahwa pengikut Sadrach sangat setia pada gurunya. Setelah keputusan ini Wilhelm datang di Karangjoso menyatakan bahwa keputusan ini bukanlah kehendaknya. Ia hanya taat kepada pimpinan saja. Sebab kalau tidak demikian ia akan dipecat. Dalam persoalan ini Sadrach menjawab dengan tegas bahwa jika Wilhelm dipecat oleh N.G.Z.V. orang Kristen Jawa menyediakan tanah untuk hidupnya. Di sini nampak kepribadian dan jiwa besar yang sudah biasa tak tergantung pada siapapun. Dan seharusnyalah Jemaat yang memikul keperluan pendetanya.

Wilhelm mengenangkan segala peristiwa tindakan Inspektur Lion Cachet yang sama sekali tidak mau mengerti segala adat-istiadat orang Jawa, serta tak mau menerima segala keterangan yang diberikan. Sayang pada peristiwa itu Wilhelm tidak mempunyai pembela. Ia tunduk pada putusan tersebut. Di dalam sekejap mata ia tidak hanya kehilangan cita-citanya tetapi segala karyanya hancur berantakan. Tak lama ia menghayati kehancuran ini. Sebelum Inspektur Lion Cachet tiba di tanah airnya di Nederland pada tanggal 3 Maret 1892 Wilhelm telah dipanggil oleh Tuhan ketempat baka pada usia 37 tahun.

Lion Cachet kembali ke Nederland pada tanggal 18 Januari 1892. Sepeninggalnya Lion Cachet, daerah N.G.Z.V. di Jawa menjadi lebih parah, karena ada dua orang pendeta Zending telah meninggal dunia yaitu Vermeer dan Wilhelm. Dua tenaga yang penting untuk daerah Jawa tengah bagian selatan, sebab nyata bahwa keduanya itu adalah pendeta Belanda yang dapat bekerja dan mengerti sedalam-dalamnya rahasia-rahasia yang dimiliki orang Jawa, hingga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.
Dengan meninggalnya Wilhelm yang amat dikasihinya, Sadrach, Yohanes dan Markus dari Banjur, berikut para pengikutnya berduyun-duyun datang di Purworejo mengikuti upacara pemakaman, menyatakan turut berdukacita. Jasa Wilhelm tak mudah dilupakan oleh Sadrach dan Jemaatnya di daerah Karangjoso. Wilhelm tetap diakui sebagai Pendeta dan guru yang bijaksana, yang mengerti akan sifat dan watak orang Jawa. Ialah satu-satunya pendeta Belanda yang dapat bekerja sama dalam bidang PI diantara orang-orang Jawa yang masih banyak kekurangan dan yang memerlukan bimbingan ke arah kemajuan.

Keputusan Lion Cachet dan meninggalnya Wilhelm niscaya menyebabkan kehancuran total. Segala pengharapan bahwa Jemaat Sadrach akan kembali kepangkuan Zending lenyap sebagai asap dimalam buta. Pintu yang semula terbuka lebar-lebar sekarang tertutup rapat-rapat. Dan akibat itu membawa kemunduran dan kerugian yang besar di pihak N.G.Z.V. sendiri, sedang kedudukan Sadrach tak goyah sama sekali, bahwa sepeninggalnya Wilhelm orang-orang Jawa tetap terikat dengan gurunya. Kewibawaan Sadrach tetap menguasai orang-orang Kristen baik di daerah Bagelen maupun di daerah Banyumas dan Pekalongan. Anak-anak yang bersekolah di sekolah Keuchenius yang diasuh oleh Zuidema, semuanya ditarik kembali ke kampungnya masing-masing. Dengan demikian merupakan suatu pukulan yang hebat lagi dipihak N.G.Z.V. Lebih-lebih pula jemaat-jemaat Jawa dalam wilayah N.G.Z.V. mengalami kehancuran total, yang semula jumlah anggota 6.374 orang dan kini hanya tinggal 150 orang saja meliputi daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Di Jemaat di Purworejo hanya terdapat 37 orang, daerah Temon 32 orang, daerah Tegal Pekalongan 60 orang dan daerah Banyumas (Purbolinggo) kira-kira hanya 30 orang saja.

Setibanya Lion Cachet di Nederland, segera ia memberi laporan-laporan kepada bestuur N.G.Z.V. Dengan terjadinya kemunduran Jemaat di Jawa Tengah bagian Selatan amat disedihkan dan disesalkan oleh Pengurus tersebut, karena tindakan yang terburu-buru dari Lion Cachet. Bestuur mengalami kebingungan, karena apakah yang harus dilakukan untuk mengembalikan jemaat-jemaat itu pada kedudukan semula. Ini berarti kerugian besar bagi N.G.Z.V. dalam usaha-usahanya. Pada saat yang penuh dengan penyesalan itu, Lion Cachet mencoba mengusulkan kepada Bestuur N.G.Z.V. mengutus seorang dokter Zending untuk daerah Purworejo. Ada kemungkinan besar dengan jalan pengobatan akan membawa mereka kembali kepada jalan yang benar.
Usul disetujui, maka Dr. J.G. Scheurer diutus sebagai dokter Zending untuk melayani di daerah Bagelen. Ia tiba di Batavia pada tanggal 9 Mei 1893. Sebelum ia ke Purworejo, untuk sementara ia tinggal di Solo perlu belajar bahasa Jawa. Pada tanggal 13 Desember 1893 barulah ia tiba di kota Purworejo.


(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html