Selasa, 12 Januari 2010

18. TINJAUAN, ANALISA DAN PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEJARAH SADRACH

Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan mempertimbangkan apa yang telah terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana telah dikemukakan oleh W. Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup; ia dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang komplek dalam masa silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri. Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang dinamis untuk masa yang akan datang dengan warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu pertalian yang bersifat peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang boleh menjadi pegangan kita.

Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia menjadi orang Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras dalam mencari kebenaran Allah. Ialah seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak dan pikiran sendiri. Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia harapkan. Perkenalan dengan Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah sudah menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh ajaran gereja Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi orang Kristen, cerdas, mempunyai cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut kesaksian Mr. Anthing yaitu ada beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu sebelum ia menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang yang berilmu sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki itu tidak dapat diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai pembantu Ny. Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.

Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach. Adapun kelemahan-kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa, kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat, hanya beberapa macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan sebagainya yang nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari pada itu, sebagaimana telah kita baca dihalaman depan, rupanya Sadrach telah cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap praktek-praktek pemujaan orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang melemahkan seluruh pelayanannya kepada pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach menyebabkan tidak adanya orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal dunia dapat dikatakan bahwa persekutuan Kristen yang ia pimpin kemudian terpecah belah, serta makin lama makin menipis, hal itu tentu patut disayangkan.

Tapi sebaliknya, Sadrach adalah orang yang sangat berwibawa. Ia sangat ditaati orang. Pengaruhnya sangat besar dan tak mudah ditundukkan orang lain, dan berjiwa bebas lagi pula suka bergaul dengan siapa saja yang dijumpainya. Baik kepada orang-orang yang berpangkat atau kedudukan tinggi maupun sampai yang rendah. Hubungannya sangat luas. Hatinya sangat keras dalam arti kata keras mencari kebenaran Allah, tapi ia ramah terhadap sesama orang, baik orang itu pernah menyakitkan hati atau tidak, pendiriannya selalu baik terhadap siapa saja, hal ini ternyata pada waktu ia dipenjarakan karena dituduh melanggar peraturan pemerintah (pencacaran) dan lebih-lebih direndahkan dihadapan orang banyak oleh Bieger. Apakah ia marah atau dendam sekali-kali tidak. Ia terima segala hinaan dan fitnahan-fitnahan Bieger, sebagai suatu ujian imannya. Semua diterimanya dengan besar hati. Dalam kenyataan ia telah mengangkat seorang pendeta Belanda utusan NGZV. Yaitu Wilhelm menjadi pendetanya, dan apa yang diajarkan dan diatur oleh Wilhelm tak pernah ditentangnya. Demikian pula dengan Adriaanse yang sangat diharapkan bantuan-bantuannya, tapi sayang, Adriaanse bertindak terlalu hati-hati hingga selalu tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Adriaanse ingin merintis kembali hubungannya dengan Sadrach tetapi ia kurang tegas dan terlalu takut kepada atasanya, hingga gagal. Apakah jeleknya dan salahnya kalau Sadrach minta bantuan demi kemajuan jemaatnya, tetapi selalu terhambat, karena Adriaanse tidak dapat mengambil keputusan sendiri selalu minta ijin dari negeri Belanda. Sebenarnya hal ini sangat mengecewakan jemaat Sadrach di Karangjoso. Lebih-lebih ketika Lion Cachet dengan keputusannya yang kurang bijaksana.

Akhirnya membawa kerugian besar dipihak Zending sendiri. Dengan keputusan itu berarti menutup rapat bagi Jemaat Sadrach untuk mengadakan kontak dengan pihak Zending, ini berarti pula bahwa kemungkinan untuk saling belajar juga tertutup. Lion Cachet seorang Belanda dan bertindak seperti orang Belanda terhadap jemaat di negeri Belanda yang sudah banyak kemajuan dalam pengertian Alkitab. Dalam hal ini tentulah tak dapat disamakan dengan keadaan orang Jawa. Pandangannya kurang sesuai dengan cara hidup orang Jawa. Pertanyaan yang penting setiap kali muncul disini, bagaimanakah dapat menilai kekristenan orang Jawa dengan segala watak dan hati dan serta keistimewaannya ? Kecuali orang yang dapat hidup bersama-sama, bergaul bersama-sama dalam waktu yang lama. Hal ini tak dapat dipandang sepintas lalu saja sebagai kaum wisatawan. Lion Cachet bertindak dan mengambil keputusan dengan apriori seperti kaum wisatawan saja, dan sangat berbeda pandangannya dengan Wilhelm yang sudah bergaul bersama-sama hingga mengerti benar-benar apakah yang dikehendaki dan cara bagaimana harus melayani jemaat yang masih terlalu kurang dalam pengertian sebagai orang Kristen terhadap orang-orang Kristen Jawa. Ia merintis segala kesukaran-kesukaran yang ia hadapi untuk menuju kearah kemurnian jemaat-jemaat Jawa dengan usaha membuka sekolah.

Ia mengetahui bahwa adat-adat kebiasaan orang Jawa memang tak mudah dibuang saja, bahkan semua harus dilakukan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Perintisan dimulai dari pendidikan sekolah guru Injil bagi anak-anak, dimana ia telah menganjurkan kepada jemaat-jemaat supaya orang-orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Ternyata tindakan dan usaha Wilhem membawa berkat Tuhan yang amat besar, dengan penambahan-penambahan anggota jemaat yang tidak sedikit, baik di daerah Bagelen maupun sampai di wilayah Yogyakarta. Jasa Wilhelm amat besar bagi Jemaat Jawa. Tetapi sayang usaha-usaha Wilhelm sangat ditentang oleh rekan-rekannya sendiri yaitu Horstman, Vermeer dan Zuidema.

Apakah mungkin mereka iri hati, mengapakah Wilhelm dapat bergaul baik dengan orang-orang Jawa sedangkan mereka tidak ? Dalam hubungan ini muncul suatu pertanyaan pokok dalam misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja-gereja dari Barat : bagaimanakah kaitan antara kebudayaan dan Injil, seberapa jauhkan Injil telah tercampur baur dengan kebudayaan barat dalam hal ini kebudayaan negeri Belanda ? bagaimana hubungan antara identitas kulturil dan Injil keselamatan ? Sampai seberapa jauhkah perbedaan antara kekristenan Jawa dan kekristenan Belanda ? Persoalan-persoalan itulah yang nampaknya terus menerus digumuli oleh Kyai Sadrach terbukti ketika ia mengatakan bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran Orang Jawa, asal tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen. Hal ini ternyata mereka telah memberikan laporan-laporan yang bertentangan dengan laporan Wilhelm kepada NGZV, seolah-olah ingin menjatuhkan Wilhelm. Laporan-laporan mereka lebih dikuatkan oleh kenyataan-kenyataan yang dilihat sendiri oleh Lion Cachet dari dekat, ketika ia berjumpa dengan seorang yang menderita sakit dan ingin minta obat dari Sadrach dan mendengar sendiri dari beberapa murid Sadrach dari hal kesaktian-kesaktian Sadrach dan sebagainya. Sayang, Lion Cachet hanya banyak mendengar dari murid-murid Sadrach saja dan kurang menghubungi Sadrach sendiri, dan tidak mengetahui benar-benar apa yang dilakukan oleh Sadrach sendiri. Ia tak menyadari bahwa pengikut-pengikut Sadrach sangat setia pada Gurunya. Mereka menjunjung tinggi gurunya. Maka keputusan Lion Cachet itu benar-benar menutup pintu segala kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan Jemaat tersebut Wilhelm seolah-olah menjadi saingan besar terhadap rekan-rekannya sendiri. Soal ini berarti pihak Zending salah bertindak meskipun tujuan dan maksudnya mungkin benar. Akhirnya membawa perpecahan, berantakan dan kemunduran yang amat menyedihkan. Tetapi dipihak Sadrach tetap teguh, sedikitpun tak goyah. Pengikut-pengikutnya tetap setia kepadanya. Akhirnya Sadrach memutuskan hubungan dengan Zending. Adapun kerugian yang diderita oleh Zending adalah pertama kehilangan 2 pendeta utusan yaitu Wilhelm dan Vermeer. Horstman kembali ke Nederland karena istrinya meninggal dunia. Murid-murid Sekolah Keuchenius ditarik kembali oleh orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam lingkungan Zending sebagian besar meninggalkan Gerejanya, menurut catatan mula-mula jumlah 6374 dan kini hanya tinggal 150 termasuk jemaat-jemaat : Purworejo, Temon, Tegal, Pekalongan dan daerah Banyumas. NGZV, tidak berdaya lagi untuk menrintis kembali jemaat Jawa di Jawa Tengah ini, maka mereka mencoba menyerahkan tugas ini kepada Synode Gereja-gereja Gereformeerd di Nederland. Akhirnya Gereja-gereja ini mengutus Adriaanse, tetapi Adriaanse pun gagal usahanya.
Dalam situasi demikian itu, dalam keadaan yang masih keruh itu, datang seorang Tionghoa dari aliran gereja Kerasulan di Magelang bernama Liem Tjhing King, mula-mula kedatangannya memberitahu tentang meninggalnya Mr. Anthing yang saat itu sudah menjadi rasul di Indonesia. Inilah sebagai suatu dorongan mula-mula masuknya Sadrach menjadi rasul, dasar pada saat itu Sadrach merasa bebas tidak tergantung lagi kepada Zending maupun aliran lain. Ia bebas 100 %, dengan demikian maka baginya bebas untuk mengambil tindakan-tindakan selanjutnya menurut kehendaknya sendiri. Dorongan menjadi rasul lebih dikuatkan ketika ia meninjau keluarga Anthing dan menghadiri kebaktian di gereja Kerasulan. Kemudian ia menyatakan kesediaannya diangkat menjadi Rasul. Sifat dan ciri Sadrach, ia selalu suka pada hal yang ia anggap baru. Hatinya sangat tertarik masuk menjadi Rasul mengikuti teladan-teladan gurunya yaitu Mr. Anthing. Biasanya orang diangkat menjadi rasul berdasarkan percaya akan nubuat-nubuat yang datang daripada Allah sendiri. Menurut kepercayaan Gereja Kerasulan, Rasul itu harus tetap ada hingga akhir jaman. Orang yang diangkat menjadi Rasul berhak melayani sakramen-sakramen gereja. Kedudukan inilah sebenarnya yang dikehendaki Sadrach dimana ia dulu sebagai kaum awam tapi sekarang sebagai Rasul yang berhak melayani Baptisan dan Perjamuan Suci, hingga tidak lagi memerlukan pendeta untuk melayaninya. Dengan pengangkatan Sadrach menjadi Rasul, sebenarnya bagi Sadrach belum jelas, bagaimanakah peraturan-peraturan yang harus dipraktekkan, bukti bahwa segala peraturan Gerejanya masih tetap memakai peraturan-peraturan yang lain, hanya ada beberapa penambahan yang terdapat dalam jabatan-jabatan.
Ketika Sadrach meninggal dunia, terjadi kegoncangan. Jemaat Sadrach terpecah belah dan berantakan. Ini sebenarnya hanya disebabkan Yotham yang menghendaki agar Jemaatnya diserahkan kepangkuan Zending. Ia sendiri tidak ada kesanggupan untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Yotham yang sejak muda menjadi murid Wilhelm dan Zuidema di sekolah Keuchenius. Sedikit banyak ia telah memperoleh pengertian-pengertian tentang Kitab Suci dan peraturan Gereja. Ia berpendirian lain dari pada Sadrach, bahkan ia lebih condong untuk menyerahkan kepangkuan Zending. Angan-angan ini sebenarnya sudah ada sebelum Sadrach meninggal dunia, ia sebenarnya tidak setuju dengan peraturan-peraturan adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Kristen Jawa yang oleh Sadrach dibiarkan saja, dan lagi tentang pendirian gereja kerasulan dalam hati Yotham kurang setuju, karena ia anggap menyimpang dari ajaran kitab suci. Tapi angan-angan tetap tinggal angan-angan saja. Hal ini barulah terwujud setelah Sadrach meninggal dunia.

Rasul Schmidt dari Cimahi mencoba mempertahankan aliran kerasulan Sadrach, maka diusulkan supaya mencari pengganti orang lain. Akhirnya Yotham menerima juga untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Sebenarnya Yotham sudah mempunyai rencana-rencana tertentu. Dengan menerima pengangkatan itu termaksud hanya agar memuaskan rasul dari gereja Kerasulan dan pemimpin-pemimpin kelompok yang masih setia kepada Sadrach. Hal ini terbukti dalam pimpinannya tidak dapat memuaskan kepada pemimpin-pemimpin kelompok atau para imam. Karena itu beberapa pemimpin kelompok telah memisahkan diri dari Jemaat itu dan akhirnya mereka telah menyatukan diri kepada Zending. Menurut Yotham, haruslah diadakan pembaharuan Jemaat sebab mengingat tidak ada kemajuan sama sekali. Ia telah mengadakan musyawarah, dengan mengundang beberapa pendeta Zending dan semua pemimpin kelompok bermaksud akan menyerahkan Jemaat-jemaat Sadrach pengakuan Zending. Dengan senang hati Zending menerima baik, tetapi ada beberapa pemimpin yang telah mempertahankan Naluri Kerasulan Sadrach. Mereka terpaksa memisahkan diri. Dan hingga kini Jemaat Kerasulan Naluri tetap ada. Misalnya di desa Ketug, sebagai pemimpin sampai pada saat ini (akhir 1971) ialah Bapak Martosugondo, yang masih keturunan Yotham Martorejo sendiri.

Jumlah anggota Jemaat hanya terdapat beberapa orang saja, sedangkan anak-anak dan cucu-cucunya tidak mengikuti aliran itu. Mereka menjadi anggota Jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa). Jemaat Karangjoso dipersatukan dengan jemaat-jemaat lain. Sebagai ibu jemaat adalah jemaat di Purworejo. Dengan demikian sampai pada saat ini, adat-adat kebiasaan yang dulu masih berjalan dalam jemaat, ternyata sekarang sudah lenyap sama sekali, nyanyian-nyanyian yang dipakai sekarang adalah Nyanyian Kidung seperti yang dipergunakan di jemaat-jemaat lain. Liturgi Kebaktian dan peraturan-peraturan lain kini sudah sesuai dengan Jemaat lain. Hingga pada saat ini (akhir 1971) sebagai guru Injil adalah Bp. Soeprapto Martoseputro, cucu dari Yotham Martorejo.
Sampai pada saat ini juga di Karangjoso masih ada Gereja Kerasulan Baru, tapi ini bukan Gereja Kerasulan naluri Sadrach. Gereja tersebut dalam corak dan bentuk lain, yang memakai bahasa campuran yaitu kotbah dengan bahasa Jawa tetapi nyanyiannya bahasa Indonesia.

Demikian Sejarah Jemaat GKJ di Karangjoso dapat berjalan dengan baik karena berkat-berkat Tuhan setelah mengalami berbagai proses yang tak mudah dilupakan dalam Sejarah Gerejani.
Bagaimana menilai orang seperti Kyai Sadrach ? Pertanyaan ini memang sulit sekali dijawab. Dan buku kecil ini juga hanya semacam sketsa yang tidak memberikan penjelasan-penjelasan terperinci tentang masalah-masalah tehologia yang dihadapi oleh Sadrach.

Namun, buku seperti ini sangatlah penting artinya. Sebab didalamnya dilukiskan pergumulan seorang pemimpin agama Kristen di Jawa melawan otoritas Gereja resmi, badan Zending serta pemerintah kolonial Belanda. Hal seperti ini belum pernah dikupas secara khusus dalam literatur Kristen. Sehingga sering menimbulkan kesan ditengah masyarakat luas dan juga dikalangan warga Gereja, seolah-olah persoalan semacam ini tidak pernah ada.

Masalah pokok yang bisa muncul dari buku kecil semacam ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Sampai seberapa jauhkah pekabaran Injil di Indonesia ini tercampur dengan unsur-unsur kebudayaan Barat, khususnya kolonialisme ? Apakah perbedaan atau pertentangan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Jawa dapat dianggap sebagai pertentangan antara Injil dan unsur-unsur kekafiran dari kebudayaan Jawa ? Bagaimana hubungan antara identitas kulturil dengan pertobatan kepada Injil Yesus Kristus ?

Riwayat Kyai Sadrach dalam buku ini sedikitnya menunjukkan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad ke-19), Gereja Kristen belum mampu memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu secara jernih. Sejarah akan berkembang ke arah lain, seandainya gereja benar-benar taat kepada Tuhannya.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html