Rabu, 06 Januari 2010

9. DS. BIEGER, UTUSAN N.G.Z.V. DAN MASALAH GEREJA-GEREJA DI BAWAH PIMPINAN SADRACH.

Dari laporan Ds. Vermeer, N.G.Z.V. memandang perlu mengutus utusannya untuk bekerja di daerah Bagelen. Dua tahun kemudian setelah meninggalnya Ny. Philips, pada tahun 1878, diutuslah Ds. Bieger ke daerah ini. Sebelum ia melakukan pekerjaannya, untuk sementara ia di Tegal.
Mula-mula ia bertempat tinggal di Kutoarjo. Pada waktu ia datang ke daerah itu, kedudukan Sadrach sudah cukup kuat sebagai pemimpin orang-orang Kristen Jawa Merdeka.
Tujuan Ds. Bieger yang pertama ialah mengadakan pembicaraan dengan Sadrach tentang pimpinan orang-orang Kristen Jawa, dan menghendaki supaya Sadrach menyerahkan pimpinan itu kepada Ds. Bieger. Sungguh aneh dan mengherankan, apalagi bagi Sadrach hal ini tidak bisa dimengerti. Apakah tugas seorang pendeta Zending itu memang demikian ? Apakah Ds. Bieger tidak mengerti bahwa Sadrach dan kelompok-kelompoknya tak ada sangkut pautnya dengan gereja Negara maupun N.G.Z.V. ? Memang dulu Ds. Vermeer telah membaptiskan orang-orang yang di bawa oleh Sadrach, tetapi menurut anggapan Sadrach, hal itu bukan berarti bahwa mereka itu menjadi anggota gereja Negara atau N.G.Z.V. Dan pula usaha Ds. Vermeer dimana gereja-gereja di daerah Bagelen termasuk Karangjoso diakui sah sebagai anggota N.G.Z.V., hal ini sebenarnya oleh Sadrach dianggap sebagai bantuan yang diperlukan untuk kebutuhan gereja, dan bukan untuk menguasainya.
Sadrach sendiri tak mengerti sebenarnya status gereja Negara, N.G.Z.V dengan kelompoknya sendiri. Tetapi jelas menurut pandangan Sadrach, bahwa adanya kelompok-kelompok dan perkembangan jemaat-jemaat di daerah Karangjoso adalah hasil jerih payah Sadrach dan kawan-kawannya. Dan Sadrach telah diakui sah sebagai pimpinan mereka. Andaikata Sadrach menanyakan kepada murid-muridnya tentang maksud Bieger itu, tentu mereka akan menolaknya. Bieger adalah orang asing yang begitu datang terus minta kedudukan. Ini sukar diterima oleh Sadrach.
Usaha Bieger selanjutnya adalah mendekati Abisai. Dengan mudah daerah kerja Abisai diserahkan kepada N.G.Z.V. atau tangan Bieger. Dalam hal ini, pendirian Abisai jauh berbeda dengan Sadrach. Dia tetap mengakui bahwa daerah kerjanya menjadi anggota N.G.Z.V hingga pernyataan Bieger hal penyerahan itu bukanlah menjadi soal Ilahi dan pada saat itu jemaat di Purworejo sedang dalam keadaan parah. Pada saat itu Abisai dijadikan pembantu Bieger dengan gaji tigapuluh gulden. Menurut anggapan Bieger, Sadrach harus dapat ia kuasai seperti Abisai. Ia harus sekali lagi mengadakan pertemuan dengan Sadrach untuk maksud itu, tetapi Sadrach tetap pada pendiriannya tak mau menyerah.
Persoalan ini sedikitnya dalam waktu tiga puluh lima hari sudah tersebar di seluruh pelosok kelompok. Baik tiap murid Sadrach maupun jemaat-jemaat di wilayah Sadrach mengetahui persoalan ini. Ternyata aturan yang ditetapkan Sadrach memang tepat. Murid-muridnya mengerti kehendak gurunya dan gurunya-pun mengerti kesetiaan murid-muridnya. Ini menyebabkan pendirian Sadrach tetap teguh.
Pada suatu hari Sadrach menerima surat panggilan dari pembesar setempat, yaitu Bupati Kutoarjo dan Asisten Residen. Ia diminta keterangannya tentang bagaimana sikapnya terhadap permintaan Bieger. Sadrach menjawab bahwa ia tetap pada pendiriannya. Sejak itu Sadrach mengerti bahwa Bieger dalam usahanya untuk menguasainya telah memakai alat Negara.
Sadrach telah menerima juga peraturan-peraturan Gereja tertulis dari Bieger, tetapi peraturan-peraturan yang diberikan itu oleh Sadrach ditolak. Menurut anggapan Sadrach peraturan-peraturan itu tak dapat dijalankan karena terlalu sukar dimengerti oleh jemaat. Pokok utama, bukannya dengan dasar Kitab Suci atau pelajaran-pelajaran agama, tetapi cukuplah dengan berbagai cara lain asal orang mau bertobat dan menyerahkan hidupnya kepada Juruselamat Yesus Kristus, maka Sadrach tetap tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan yang diberikan.
Bieger berusaha dengan berbagai macam jalan, supaya Sadrach mau menerima peraturan-peraturan gereja itu. Sadrach tidak menghendaki kalau N.G.Z.V. turut campur urusan jemaat-jemaat sekitar Karangjoso.
Ketika Bieger pindah ke Purworejo dan bertempat tinggal di kampung Plaosan, ia mengadakan hubungan dengan Residen Ligvoet yang berkedudukan di Purworejo, setelah didengar keterangan-keterangan maka Ligvoet menaruh curiga atas tindakan Sadrach, dikuatirkan kalau Sadrach mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Dengan demikian maka diutus beberapa anggota polisi untuk mengamat-amati segala gerak-gerik Sadrach. Tetapi suatupun tiada terdapat kesalahan yang melanggar hukum pemerintah. Sedang para petugas pemerintah itupun dapat pula memuji dan menganggap pimpinan Sadrach itu baik. Karena tiada suatu kejahatan yang terdapat, maka Sadrach tak mungkin ditangkap tanpa alasan.
Dalam tahun 1882 wabah penyakit cacar menjalar di daerah Bagelen, hingga penduduk yang berada di daerah itu oleh Pemerintah diharuskan mencacarkan diri. Jawatan Kesehatan mengirim para mantri cacar ke pelosok-pelosok desa untuk mengadakan pencacaran penduduk.
Karena pencacaran itu dilakukan dengan cara paksa, maka Sadrach tidak setuju cara yang dilakukan itu. Pengaruh Sadrach di daerah itu amat besar, hingga di daerah itu terdapat hanya sedikit saja yang telah mencacarkan diri, dengan demikian menjadi keheranan bagi para mantri cacar tersebut. Setelah diselidiki dan diperoleh keterangan dari beberapa orang, disebabkan pengaruh Sadrach. Dengan alasan-alasan itu cukup sebagai bukti untuk menangkap Sadrach. Kemudian Residen mengirim beberapa anggota polisi buat menangkap Sadrach. Peristiwa penangkapan itu terjadi pada bulan Maret 1882 yang cukup mengejutkan, Sadrach ditangkap dan dimasukkan dalam Penjara atas perintah Residen Ligvoet. Penangkanan itu diberitahukan juga kepada Ds. Heyting, pendeta dari Gereja Negara, dengan alasan penangkapan soal cacar. Bahwa menurut laporan-laporan yang diperoleh, Sadrach tidak memperbolehkan orang-orangnya dicacar. Alasan-asalan itu sebenarnya salah.
Residen ligvoet dengan beberapa anggota polisi datang di tempat kediaman Sadrach dengan maksud akan mencari dokumen-dokumen yang bertujuan akan memberontak kepada Negara. Penggeledahan telah dilakukan dengan keras, tetapi sia-sialah. Karena ternyata tidak mendapatkan suatu bukti yang bermaksud jahat. Yang diketemukan adalah sebuah tombak kecil, yaitu satu-satunya senjata Sadrach yang diperuntukkan membela diri jika ada pencuri atau perampok. Pada saat penggeledahan, hadir juga beberapa murid-murid Sadrach, misalnya Markus, Yohanes dan lain-lain lagi. Setelah Residen mendapat banyak keterangan dari Debora, istri Sadrach, para penggeledah kemudian meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat Pemerintah menutup Gereja di Karangjoso sejak peristiwa penggeledahan itu. Tapi Yohanes tetap memimpin Kebaktian pada hari Minggu, seolah-olah tidak mempedulikan larangan itu. Karena itu Yohanes ditangkap dan dihadapkan kepengadilan di Purworejo. Dalam perkara itu Residen sendiri yang menjadi hakim pengadilan, disitu hadir juga Bieger. Putusan terakhir diserahkan kepada Bieger. Yohanes diperbolehkan mengajar asal menurut peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Kemudian ia diperkenankan pulang. Yohanes menyatakan sanggup dan bersedia melakukan keputusan tersebut.
Sementara Sadrach ditahan dipenjara, pada tanggal 15 Maret 1882 ada pertemuan besar dari kelompok-kelompok Sadrach. Pertemuan ini diadakan atas undangan (pangggilan) Residen Ligvoet. Mereka datang dengan rasa takut, sebab gurunya tidak ada, mereka kuatir akan mengalami nasib yang sama seperti gurunya. Pertemuan itu dihadiri oleh ketua-ketua kelompok dari Bagelen dan Banyumas, dan dari pihak Pemerintah hadir Residen, Bupati Kutoarjo, Kepala Jaksa Purworejo. Jaksa Kutoarjo, Assisten Residen Kutoarjo, dan dari pihak Gereja, hadir Ds. Heyting, pendeta gereja Negara dan Ds. Bieger. Dalam pertemuan itu diumumkan bahwa Sadrach diberhentikan dari kedudukannya sebagai pemimpin mereka dan diasingkan dari Karangjoso, sebagai gantinya yaitu Ds. Bieger. Peristiwa ini terkenal diantara murid-murid Sadrach dengan nama “peristiwa Jum’at Wage” yang tak terlupakan dimana mereka kehilangan gurunya.
Para pejabat pulang, Bieger tinggal bersama mereka. Sudah menjadi kebiasaan menurut pandangan orang Jawa, jika ada orang kena kecelakaan dianggap sebagai hukuman Tuhan (bahasa Jawa : Kena dendaning Pangeran). Apakah peristiwa yang menimpa diri Sadrach juga dipandang demikian ?
Muris-murid Sadrach memandang peristiwa ini bukan sebagai persoalan kedudukan gurunya, tetapi hanya soal cacar saja. Dalam hati mereka, Sadrach tetap sebagai gurunya, walaupun Bieger sudah ditetapkan sebagai pendeta mereka. Demikian Bieger mendapat kedudukan. Kedudukan ini diberi oleh Residen. Inilah jabatan dalam urusan kegerejaan, tapi anehnya Bieger juga menerima dengan senang hati, tanpa memikirkan nasib penderitaan orang lain, misalnya Jemaat-jemaat Sadrach yang kehilangan gurunya yang sangat dicintanya. Bukan pelayanan, melainkan kedudukan yang dikejar oleh Bieger sebagai pendeta utusan. Bagi orang Kristen Jawa yang belum mengerti peraturan-peraturan gereja, mendapat kesan bahwa begitulah cara orang Belanda mengatur gereja. Mereka menerima petunjuk dan ajaran dari Bieger dalam suasana hati yang masih kacau.
Peristiwa tersebut jika ditinjau dari etika orang Jawa menunjukkan bahwa utusan N.G.Z.V. datang di Bagelen untuk menduduki tikar yang sudah terhampar (bahasa Jawa : nglungguhi klasa gumelar), sedang yang menganyam tikar itu ialah Sadrach.
Lain halnya dengan Ds, Jellesma di Mojowarno. Telah nampak bahwa Ds. Jellesma lebih bertindak sebagai pelayan dari pada penguasa terhadap Paulus Tosari.
Pada tanggal 23 Maret 1882 diadakan pertemuan lagi. Kali ini diadakan di gedung Pemerintah Kutoarjo. Hadir duaratus orang. Pertemuan ini tidak hanya dihadiri ketua-ketua kelompok, tetapi juga murid-murid lain. Pertemuan itu bagi mereka suatu tanda tanya : mungkin pihak penguasa akan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap gurunya. Tetapi tidak demikian. Di sini mereka berkumpul kebaktian bersama dibawah pimpinan Bieger dengan renungan. Sesudah makan bersama, lalu diumumkan oleh Residen Ligvoet bahwa mulai saat itu, guru mereka Sadrach tak diperkenankan memberi ajaran apa-apa dan ia harus berada di Purworejo di rumah Bieger dengan dijaga oleh polisi. Memang itulah atas permintaan Bieger, supaya Sadrach tetap ditahan di rumahnya setelah ia melakukan peninjauan ke gereja-gereja di wilayah Bagelen dan daerah Pekalongan dan Tegal bagian baratdaya, karena disanalah terdapat banyak orang-orang Kristen yang berasal dari ajaran Sadrach.
Dalam kumpulan itu Sadrach menyatakan kesanggupannya. Dengan demikian Sadrach direndahkan dan dipermalukan. Nampaknya Sadrach mendapat keringanan sebab telah dikeluarkan dari penjara, tetapi sebenarnya hal itu dimaksudkan sebagai penghinaan didepan pengikut-pengikutnya, meruntuhkan kewibawaan Sadrach.
Di rumah Bieger, Sadrach seharusnya mengalami suasana yang tenang, sebab di rumah pendeta, bukan penjara. Tiap hari makan bersama, bicara-bicara soal kerohanian, baca Alkitab bersama dan saling memberi tuntunan, kalau demikian keadaannya, tentu besar sekali manfaatnya bagi Sadrach. Adapun maksud Bieger yaitu supaya Sadrach dapat menyadari segala tindakan yang salah dalam memberi ajaran-ajaran agama Kristen. Tindakan Bieger meskipun baik atau jelek, oleh Sadrach ditelan dengan sabar dan tenang. Segala nasehatnya diterima dengan baik. Hanya satu yang paling tidak disukai oleh Sadrach, yaitu cara tindakan diktator Bieger, yang sebenarnya tidak patut dilakukan oleh seorang pendeta. Sadrach mengetahui bahwa tindakan Bieger itu sebetulnya mempunyai tujuan dan maksud baik, tetapi belum saatnya dan tidak cocok untuk ditindakkan kepada orang-orang Jawa di desa-desa yang pengetahuannya masih jauh berbeda dibandingkan orang-orang Kristen di kota-kota besar atau di negeri Belanda. Pula Bieger tidak dapat menyelami apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang Jawa yang mempunyai latar belakang yang sangat lain, baik dilihat dari kepercayaan Kristen maupun kebudayaan Belanda. Ia tak dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang Jawa terutama di pelosok-pelosok desa.
(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

8. NY. PHILIPS MENINGGAL DUNIA DAN REAKSI SADRACH DALAM TINDAKAN SELANJUTNYA.

Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka terpaksa ia tak dapat melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan itu ia serahkan kepada Abisai dan Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny. Philips pada saat itu harus mengaso dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi Jemaatnya lagi. Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub, Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia berusaha sedapat mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny. Philips di situ membuat besar hati dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.

Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah mengurangi pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia menyerahkan segala pekerjaan dan hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih. Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny. Philips untuk memberi hiburan serta mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri hidupnya, sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach dan Abisai untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan senyuman telah menutup mata untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal kelahirannya di Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.

Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh Jawa Tengah dan beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita, sehingga nama harum Ny. Philips selalu teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang ditinggalkan itu tiada menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai urusan gereja, walaupun mereka kini mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta halaman berikut gereja di Tuksongo dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada seorang Tionghoa. Hal itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.

Mengingat keadaan itu, sungguh sangat menyedihkan bagi Jemaat di Purworejo. Pada saat itu, Abisai terpaksa mencari tempat lain untuk mengadakan kebaktian. Setelah diadakan perundingan bersama dengan Sadrach, maka untuk sementara kebaktian digabung di Karangjoso sebelum Abisai mendapat tempat.
Walaupun dengan penggabungan kebaktian itu, masih juga dirasa suatu penderitaan bagi Jemaat di daerah Purworejo, dimana mereka harus setiap minggu dengan jalan kaki menempuh jarak l.k. 20 kilometer jauhnya antara Purworejo dan Karangjoso.

Apakah dengan lenyapnya gereja Tuksongo berarti juga hancurnya kekristenan di Bagelen ? Tidak, sebab sebelum Ny. Philips wafat, ia telah menyampaikan isi hatinya dan pandangannya mengenai pemeliharaan kerohanian orang Kristen Jawa kepada kedua pembantunya yang setia yaitu Abisai Reksodiwongso dan Sadrach. Orang-orang Kristen di Purworejo dan sekitarnya diserahkan kepada Abisai dan daerah Karangjoso dan sekitarnya kepada Sadrach. Maka dengan demikian orang-orang Kristen Jawa dapat tetap bertahan, artinya tak melepaskan kepercayaan Kristen mereka.
Soal penyerahan pimpinan ini langsung diberitahukan oleh Sadrach kepada para pembantu-pembantunya yang bekerja di kelompok-kelompok. Menurut pendapat Sadrach dan kawan-kawannya, sekarang mereka tidak bergantung kepada siapapun. Mereka ingin mengatur dirinya, sebab itu mereka menyebut dirinya : Kristen Jawa Merdeka. Ini bukan kesombongan atau berdasar rasa benci, tetapi ini keadaan yang sebenarnya. Sebab Gereja Negara sudah tidak mau menganggap lagi dan Ny. Philips sudah meninggal dunia. Kemudian Sadrach telah mengumumkan nama barunya sebagai pemimpin orang Kristen Jawa Merdeka, dengan nama : SUROPRANOTO, yang berarti berdiri sendiri (berdikari) tidak dibawah siapapun, dan semuanya diatur menurut tata caranya sendiri (Mranata).

Soal ini bagi Sadrach sudah biasa, sebab ia sudah biasa hidup tak tergantung kepada orang lain. Situasi seperti ini mengingatkan Sadrach kepada gurunya dulu yaitu Kyai Tunggul Wulung, dimana pendeta Jawa tak tergantung kepada siapapun.
Sadrach dengan seribu lima ratus orang dewasa atau kurang lebih tiga ribu anggota ingin mengatur diri bersama-sama. Dia mengambil inisiatif dan menetapkan aturan-aturan bagi semua kelompok. Tiap-tiap tigapuluh lima hari sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon, semua ketua kelompok berkumpul di Karangjoso. Hari Selasa Kliwon bagi orang Jawa mendapat perhatian besar sebagai hari kelahiran Syiwa, dan tiap-tiap malam Selasa Kliwon di rumah atau di tempat keramat dan kuburan, orang membakar kemenyan. Dengan ditetapkannya hari itu untuk berkumpul maka perhatian kepada upacara pembakaran kemenyan beralih. Sebab yang datang dalam kumpulan itu tidak hanya wakil-wakil dari kelompok, tetapi orang-orang dari kaum awam juga. Ini merupakan pertemuan besar dibawah pimpinan Sadrach. Di situ dibicarakan soal-soal misalnya : jumlah anggota gereja, kelahiran, kematian, pemisahan kelompok-kelompok yang makin besar, menetapkan ketua-ketua kelompok, menentukan pembangunan rumah-rumah kebaktian dan sebagainya. Demikianlah semua kemungkinan di situ dikemukakan, diperbincangkan dan diatur. Dengan demikian hingga merupakan persatuan yang ampuh. Dari pelbagai tempat orang-orang itu berkumpul, berdoa, berbakti bersama-sama. Pada malam hari mereka bermalam di rumah Sadrach dan saling mengadakan perkenalan dan bercakap-cakap sebagai kakak beradik, bapak dan anak, hingga merupakan kekeluargaan yang penuh dengan kasih. Suasana yang tak diinginkan tak pernah terjadi, sebab mereka merasa menjadi tamu di rumah gurunya, mereka takut berbuat apa-apa yang kurang hormat dalam pertemuan itu. Soal makanan mereka, tak mungkin Sadrach menjaminnya. Para tamu membawa sendiri hingga tak dibebankan pada seorang saja. Aturan ini berjalan terus tak penah lowong, dan menunjukkan suatu keluarga yang besar dibawah seorang bapak Sadrach. Ikatan ini semakin kuat, sebab mereka dalam satu perguruan merasa seperti saudara-saudara sekandung. Keadaan sosial ekonomi umumnya cukup, sebab hampir setiap keluarga mempunyai sawah dan tanah sendiri.

Para murid-murid Sadrach menaruh kepercayaan besar kepada gurunya. Sikap dan kelakuan Sadrach bernilai tinggi diantara murid-muridnya. Ia seorang yang dapat menguasai diri. Tak banyak tertawa, orang yang serius, tak suka bersenda-gurau. Tak pernah mengejek atau menghina orang lain. Kenalannya tak hanya orang-orang yang rendah, tetapi sampai pejabat-pejabat tinggipun mengenal dia. Dengan demikian menambah gengsi dihadapan para murid-muridnya.
Kelompok Sadrach tetap bernama Kristen. Mereka menegakkan sepuluh Hukum dan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli dan biasanya itu dihafalkan pada tiap Kebaktian hari Minggu. Hal-hal inilah sebagai ciri orang-orang Kristen yang nampak di tengah-tengah masyarakat desa sekitar Karangjoso, dan ini memang merupakan persekutuan yang sangat bermutu.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

7. GEREJA-GEREJA JAWA MENJADI ANGGOTA N.G.Z.V.

Siapakah Pendeta Vermeer itu ? Baiklah kita ajak para pembaca menengok sejarah Pendeta tersebut yang banyak membantu dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa serta mengasihi Jemaat-jemaat Kristen Jawa yang masih muda.
Ds. Vermeer adalah seorang pendeta yang menjadi Pendeta utusan dari N.G.Z.V. (De Nederlandsch Gereformeede Zendings Vereniging) yaitu suatu Perkumpulan para Utusan dari Gereja-gereja Gereformeerd di negeri Belanda. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 6 Mei 1859 di kota Amsterdam dan menjadi satu-satunya partner di Jawa Tengah bagian Selatan.
Kedatangannya mula-mula di Tegal pada tanggal 14 Juni 1862 bersama keluarganya dan mula-mula ia ditugaskan di Jawa Tengah bagian utara, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1867 kedudukannya dipindah ke Jawa Tengah bagian Selatan. Bersama keluarganya mereka lalu menetap di Purbolinggo. Sejak ia di Tegal, ia belajar bahasa Jawa selama 5 tahun dan ketika ia dipindah tugasnya di Purbolinggo disambut dengan gembira terutama oleh Ny. Van Oostrom. Tugas mula-mula yang dikerjakan ialah melakukan pelawatan kepelbagai daerah dan desa-desa dengan disertai oleh Ny. Van Oostrom dan beberapa kawan sekerja. Dengan cepat Injil meluas di desa-desa hingga sampai di daerah-daerah pegunungan Dieng membujur sampai di pegunungan Slamet. Ny. Van Oostrom menceritakan banyak tentang pemberitaan Injil di Bagelen yang sangat maju hingga meluas sampai di daerah Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Timbulnya jemaat-jemaat didaerah pegunungan-pegunungan itu berasal dari daerah Bagelen. Diceritakan juga bagaimana cara kerja Pemberita-pemberita Injil di Bagelen yaitu Ny. Philips, Sadrach dan lain-lainnya, yang mempunyai semangat yang luar biasa. Ds. Vermeer sangat gembira ketika mendengar kabar itu. Lebih gembira lagi ketika rombongan para pemberita Injil datang di Banyumas untuk minta bantuan melayani Jemaat-jemaat di daerah Bagelen. Atas usaha Ds. Vermeer, Gereja-gereja Jawa di wilayah Banyumas menjadi anggota N.G.Z.V.
Dengan demikian maka segala kebutuhan Gereja dapat terjamin terutama buku-buku pelajaran Agama Kristen dan kitab-kitab Suci Bahasa Jawa. Semuanya itu terjadi pada tahun 1875.
Gereja Jawa di Bagelen diterima dan diakui sah menjadi anggota N.G.Z.V. berdasarkan laporan-laporan Ds. Vermeer dengan fakta-fakta yang nyata tentang kemajuan dan perkembangan Injil Kristus yang sangat cepat meluasnya. Dengan demikian keadaan daerah Bagelen menjadi perhatian besar di Gereja-gereja di negeri Belanda, lebih-lebih tindakan dan cara kerja Sadrach yang luar biasa.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

6. JEMAAT KRISTEN JAWA DIPISAHKAN DARI GEREJA PEMERINTAH BELANDA

Dengan tumbuhnya gereja-gereja di pelosok desa-desa mengakibatkan Ds. Troostenburg de Bruyn menemui kesukaran disebabkan oleh timbulnya berbagai pandangan yang saling bertentangan di antara Majelis Gereja Belanda. Sebagian mereka tidak senang jikalau Ds. Troostenburg tetap melayani Gereja-gereja Jawa dalam melayani sakramen-sakramen Perjamuan Suci dan Baptisan, dianggap melantarkan pekerjaan sendiri. Dengan alasan bahwa Ds. Troostenburg dalam tindakannya lebih memperhatikan Gereja-gereja Jawa dari pada Gerejanya sendiri. Tetapi sebagian lain menyatakan setuju dan perlu membantu Gereja-gereja Jawa yang masih muda dan belum mempunyai Pendeta sendiri, dan itu sudah menjadi kewajiban bagi Gereja yang kuat, yang harus memberi petolongan-pertolongan yang diperlukan oleh Gereja-gereja yang belum dewasa. Pertentangan dari dua golongan itu menjadi tegang. Sebagai putusan terakhir, diambil dari suara anggota dan ternyata mereka menyatakan tidak setuju.
Dengan keputusan itu Ds. Troostenburg merasa sangat menyesal, karena mereka ternyata belum mengerti tugas-tugas mereka sebagai orang Kristen, yang harus mengasihi sesama manusia dengan tidak memandang bulu. Dan memperkembangkan Injil kepada semua bangsa di dunia untuk kelebaran Kerajaan Allah.
Dalam hal ini terbukti bahwa Ds. Troostenburg sangat cinta kepada orang-orang Jawa yang mau menerima Yesus Juruselamat, dan kemajuan Jemaat Jawa sangat ia perhatikan. Sebenarnya ia tak dapat meninggalkan Jemaat Jawa. Setelah ia pertimbangkan, maka ia mengajukan permintaan untuk dipindah ke lain kota. Permintaannya diluluskan. Sebelum ia meninggalkan Purworejo, telah diadakan perayaan perpisahan di gereja Tuksongo.
Ny. Philips, Sadrach, Abisai, dan lain-lain sangat menyesalkan tindakan Gereja Pemerintah itu. Perayaan perpisahan itu sangat mengharukan jemaat Jawa. Ds. Troostenburg meninggalkan Purworejo pada tahun 1873.
Ds. Thierme, seorang pendeta baru yang mengganti Ds. Troostenburg di Gereja Pemerintah Belanda. Sifat dan kelakuannya tidak ramah bahkan memandang rendah kepada orang-orang Jawa. Ia tak suka jika orang Kristen Jawa campur menjadi satu dengan orang-orang Kristen Belanda dalam gereja Pemerintah. Hal ini menurut keputusan rapat Majelis Gereja Belanda, bahwa orang Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah Belanda, dan putuslah hubungan antara Gereja Belanda dengan Gereja Jawa.
Setelah diadakan perundingan bersama antara Ny. Philips dan kawan-kawannya, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan lain, yaitu akan minta bantuan Ds. Vermeer dari Purbolinggo buat melayani Sakramen Baptis Suci dan Perjamuan Suci. Kemudian Ny. Philips, Sadrach, Abisai, bertiga pergi ke Purbolinggo langsung menuju ke tempat Ds. Vermeer. Semua hal ikhwal yang terjadi di Purworejo diceritakannya. Setelah Ds. Vermeer mendengar keadaan itu, maka ia bersedia membantu dengan senang hati. Dari situ mereka meneruskan perjalanan ke Banyumas menuju ke tempat Ny. Van Oostrom. Ny. Van Oostrom bersedia juga membantunya.
Pada suatu hari Ds. Vermeer mengadakan perkunjungan di gereja-gereja Jawa di Bagelen. Mula-mula kedatangannya langsung menuju ke tempat Ny. Philips. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh Jemaat Kristen Jawa Purworejo, Karangjoso, Ambal dan lain-lain tempat. Pelawatan Ds. Vermeer ke pelbagai tempat di pelosok-pelosok Desa yang sudah ada gereja, di situlah ia diminta untuk melayani Perjamuan Suci dan baptisan. Baru pertama kali ini Ds. Vermeer mengadakan pelawatan dan selama dalam pelawatannya itu ia telah membaptiskan 700 orang termasuk anak-anak. Ds. Vermeer tak memerlukan penterjemah, sebab ia sendiri mahir berbahasa Jawa, maka dari itu hubungannya dengan orang-orang Jawa sangat mudah, hingga semua itu dapat berjalan dengan baik.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

5. PERKEMBANGAN JEMAAT KRISTEN DAN PEMBAGIAN DAERAH KERJA

Hubungan antara Sadrach dan Ny. Philips tetap erat dan terpelihara dalam keesaan Jemaat. Sadrach dan pembantu-pembatunya sering mengunjungi Ny. Philips serta membantu dalam membangun sebuah bangunan yang menyerupai Balekambang disamping rumah kebaktian di Tuksongo. Bangunan yang direncanakan oleh Ny. Philips yang telah lama diidam-idamkannya. Bangunan tersebut didirikan diatas sebuah kolam yang dihias dengan tanaman-tanaman bunga terate dan ikan-ikan. Bangunan itu dijadikan tempat berkumpul para pemimpin untuk mengadakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat guna membicarakan soal-soal kegerejaan dan perkembangan Injil. Dalam pertemuan-pertemuan atau rapat yang diadakan itu kadang-kadang disertai juga oleh Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda, dengan demikian ternyata ada kerjasama yang baik antara Gereja Jawa dengan gereja Belanda. Bantuan-bantuan banyak juga didapat dari gereja Belanda untuk kebutuhan yang diperlukan oleh gereja-gereja Jawa.

Berhubung buku-buku pelajaran agama dalam bahasa Jawa belum ada, maka Ny. Philips berusaha keras untuk menterjemahkan buku-buku bahasa Belanda, dibantu oleh kawan-kawannya agar dapat dipergunakan sebagai dasar-dasar pelajaran agama Kristen sebelum ada buku-buku yang tercetak. Ny. Philips berusaha minta bantuan kepada Ds. Troostenburg untuk mencetak buku-buku pelajaran agama Kristen dalam bahasa Jawa. Usul Ny. Philips diterima baik oleh gereja Belanda dan segera diusahakan.
Sadrach telah menikah dengan seorang puteri dari seorang ibu yang mula-mula rumahnya di Karangjoso dipakai untuk tempat kebaktian, tapi sayang pernikahannya tidak diperoleh anak, oleh sebab itu Sadrach telah mengambil seorang anak laki-laki dari Markus bernama Yotham.

Sadrach sangat disegani oleh murid-muridnya dan penduduk di karangjoso. Ia suka mengasingkan diri dan jarang bergurau. Ada waktunya ia bercakap-cakap dan ada waktunya ia menyendiri untuk melakukan retrait di tempat sepi. Maka dari itu ia telah memilih karangjoso tempat yang penuh rawa-rawa dan hutan belukar, yang tidak disukai orang, karena ditempat itu antaranya seorang Ibu (seperti yang tersebut diatas) yang akhirnya menjadi mertua Sadrach sendiri. Ibu tersebut sudah mengenal Sadrach karena pada waktu Sadrach memberitakan Injil di Kutoarjo, ibu itu juga ikut mengunjungi kebaktian di rumah Brouwer mendengarkan pemberitaan Injil. Dan Sadrach mendengar dari ibu ini mengenai desa Karangjoso yang sangat sepi itu, maka ia sangat tertarik pada tempat itu.

Waktu senggang, Sadrach suka pergi ke sungai untuk mengail ikan dan itulah satu-satunya hiburan dan sebagai hobinya karena ia tak mempunyai anak.
Tanah Karangjoso memang oleh Pemerintah diberikan kepada barangsiapa saja yang mau membangun rumah atau desa serta boleh memilikinya dengan cuma-cuma. Seperti Kyai Tunggul Wulung telah membangun desa Bondo dan saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan membuka hutan dan mendirikan desa Kristen, maka demikian juga Sadrach membangun Karangjoso menjadi desa Kristen.

Sebagai kelanjutan pemeliharaan iman bagi orang-orang yang baru saja menerima baptis Suci, dimana sekarang sudah terpencar kepelbagai daerah, maka hal ini perlu dipikirkan, sebab pelaksanaannya tak mudah. Perkembangan Injil diantara orang-orang Jawa pun mendapat perhatian dari Gereja Belanda dan mereka yang telah menerima baptis juga diakui sah sebagai anggota Gereja Belanda dan nama mereka dicantumkan juga dibuku Daftar anggota gereja Belanda. Mengingat perkembangan Injil yang sangat meluas itu, maka Majelis Gereja Belanda telah mengangkat Ny. Philips dan Schneider dalam jabatan tua-tua khusus mengurusi dan memelihara Jemaat yang baru lahir di desa-desa. Ongkos-ongkos perjalanan dan keperluan gereja-gereja tersebut ditanggung oleh Gereja Belanda.

Mengingat banyaknya gereja-gereja yang timbul di pelosok-pelosok desa, tentu tidak dapat dibiarkan saja tanpa ada yang bertanggung jawab, maka dari itu telah dibentuk Pembagian Daerah Kerja yang disusun sebagai berikut :
Gereja Tuksongso Purworejo dijadikan pusat Daerah Kerja, yang dikerjakan oleh Ny. Philips dibantu oleh Bp. Abisai Reksodiwongso dan putranya yaitu Timotius Reksodimurti. Jemaat-jemaat yang termasuk daerah Purworejo ialah : Cangkrep, Bulu, Manoreh, Jelok, Slewah, Dermosari dan Kesingi.
Daerah Karangjoso dikerjakan oleh Sadrach, dibantu oleh Yotham, termasuk Kutoarjo. Daerah Ambal termasuk Banjur, Karangpucung, Pering, Pamrian dan Pondokgede di kerjakan oleh Tarub dibantu oleh Markus dan Yohannes.
Kamdah seorang murid Ny. Philips dibantu oleh beberapa orang murid Sadrach ditugaskan di daerah Utara Banjarnegara dan desa-desa yang terletak dilereng pegunungan Slamet, yaitu : Bendawuluh, Karangcengis, Watumas.
Yakub Tumpang seorang saudara angkat Sadrach ditugaskan di daerah pegunungan Dieng sebelah Utara Wonosobo yaitu : Serang, Batu dan kemudian mengadakan perantauan sampai ke daerah Pekalongan bagian sebelah Selatan. Ia dibantu oleh kawannya bernama Kromowijoyo.

Mintowijoyo seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach ditugaskan di daerah Pekalongan bagian Selatan ialah : Dermo, Kasimpar dan disitulah, ia telah membangun Gereja Kristen. Kemudian sampai di desa Katembelan, Purbo, Cituluk dan Telogohabang di daerah Kabupaten Batang, dan di daerah distrik Bawang, Banaran dan Jampangan.
Yokanan seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach dan Ny. Philips ditugaskan di daerah pegunungan Slamet yaitu : Kandanggotong, Batusari, Pulosari sampai di distrik Comal, Desa Gintung, Gedleg, Kendaldoyong Sidokare yang letaknya di dekat Comal. Di Sokowangi, Temuireng Jebed, Bandar sampai dijajahan Kabupaten Kendal, dan selanjutnya di Pidodo, Kalibening dan Karangcengis sampai desa Kertayasa.

Ny. Philips bersama Sadrach pada suatu hari telah mengadakan pelawatan kepada Jemaat-jemaat diseluruh wilayahnya, perlu untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri perkembangan kekristenan di desa-desa itu. Perjalanan ditempuh dengan berkuda kadang-kadang dengan jalan kaki. Pelawatan itu disambut dengan kesukaan oleh orang-orang Kristen di desa-desa dimana ia kunjungi. Mereka menyebut Ny. Philips “eyang (bahasa Jawa, nenek). Mereka merasa puas dan dengan sukacita mendengar kata-kata Ny. Philips yang sopan dan tata bahasanya enak di dengar. Demikian juga dengan Ny. Philips hal ini merupakan kesukaan besar sebab ia menjadi wanita pertama yang memberitakan Injil keselamatan kepada orang-orang Jawa. Demikian hasil pekerjaan yang gilang gemilang yang selalu akan tercatat dalam sejarah Gerejani.

Perjalanan mereka dilanjutkan terus sampai di daerah Banyumas, mula-mula mereka langsung menuju ke rumah iparnya yaitu Ny. V. Oostrom. Kedatangan rombongan itu disambut hangat oleh Ny. Oostrom dan penduduk di Banyumas, dan tak lupa mengunjungi Ds. Vermeer. Menurut keterangan-keterangan yang diperolehnya, sudah ada beberapa orang yang minta dibaptis. Kemudian orang-orang ini dibaptis di Banyumas oleh Pendeta Vermeer sebanyak enambelas orang. Dengan adanya baptisan ini, memberi kegembiraan besar di tengah-tengah kelelahannya. Inilah perjalanan yang pertama. Dan pada perjalanan yang kedua ke Banyumas lebih besar lagi hasilnya. Sadrach dengan beberapa murid calon baptisan ikut menyerti Ny. Philips. Mereka meneruskan perjalanan menuju ke pegunungan Slamet. Sambutan-sambutan di sana pun tidak kurang meriahnya. Dan itu adalah suatu kesukaan besar bagi penduduk desa-desa itu. Pada waktu perjalanan kembali, Ds. Vermeer ikut ke Purworejo. Perjalanan mereka itu memakan waktu dua minggu lamanya. Perjalanan selanjutnya telah dilakukan pada waktu lain, hingga akhirnya dapat tercapai hampir semua tempat dimana mereka menyebarnya, sampai di daerah pegunungan Dieng dan Daerah Pekalongan dan Tegal.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

4. KEGIATAN SADRACH DALAM MEMBANGUN GEREJA DI KARANGJOSO



Dalam pemasyhuran Injil di Bagelen ini, Sadrach memegang peranan penting. Ia mengerjakan di daerah-daerah yang agak jauh dimana belum ada orang Kristen. Mula-mula ia menuju ke desa Cangkrep. Dengan izin Kepala desa setempat ia mengundang penduduk sekitar desa itu. Maka datanglah orang-orang dari penduduk sekitar desa Cangkrep. Mereka terdiri dari berbagai aliran kepercayaan, yaitu dari golongan Islam, Budha dan orang-orang ahli sihir dan ahli nujum.

Sadrach menyampaikan Injil keselamatan dengan berani, dengan tata caranya sendiri yaitu dengan mencampur aduk ilmu-ilmu Jawa didalam pemasyhuran Injil. Ia berpendapat dengan jalan ini dapat disesuaikan dengan keadaan atau selera kepercayaan orang-orang Jawa sehingga mereka dapat menerima Injil Kristus. Dan ternyata juga diantaranya banyak yang menerima Kristus sebagai juruselamat mereka. Kemudian dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Kutoarjo. Disana ia berkenalan dengan seorang Kristen bernama Brouwer. Orang ini dengan senang hati memperbolehkan rumahnya untuk tempat berkumpul orang-orang Jawa yang sudah mendengar Injil. Di tempat Brouwer tiap seminggu sekali diadakan Kebaktian, disamping itu ia melakukan pemasyhuran kepada orang-orang Jawa baik di kota maupun di desa-desa sekitarnya. Ini terjadi pada tahun 1870. Dalam tahun itu tempat kebaktian terpaksa harus dipindahkan, sebab Ny. Brouwer meninggal. Oleh Sadrach tempat Kebaktian di pindah di Karangjoso yang kurang lebih jarak 8 kilometer barat daya Kutoarjo.
Tempat ini sebetulnya tidak baik letaknya, karena sekitarnya banyak terdapat rawa-rawa dan suasana sangat sepi. Tetapi di situ berdiam seorang ibu yang suka mendengar Injil. Di sekitar desa itu, ia mencari kenalan-kenalan baru. Di tempat ini pula berkumpul orang-orang yang telah menerima Injil Kristus. Selama kegiatan Sadrach, ia selalu mengadakan kontak dengan pimpinannya, yaitu Ny. Philips. Ketika Sadrach akan mengambil Karangjoso sebagai tempat Kebaktian dan tempat tinggalnya, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan Ny. Philips. Walaupun selalu ada kontak, tetapi Sadrach selalu bekerja dengan gaya kecakapan dan kebijaksanaan sendiri. Hasil-hasilnya dilaporkan kepada Ny. Philips. Rumah Kebaktian didirikan di Karangjoso pada tahun 1871 disamping Gereja di Tuksongo. Sadrach mendirikan rumah Kebaktian ini dibantu oleh murid-muridnya secara suka rela dan dengan semangat yang besar. Dengan pendirian tempat kebaktian itu, Sadrach telah mengambil sikap dan langkah sendiri tak bersandar pada orang lain, dan tiada suatu bantuan diminta dari pemimpinnya, yaitu Ny. Philips. Karena ia tahu bahwa tugas Ny. Philips cukup banyak dan berat, maka ia berbuat sesuatu yang dipandang perlu untuk segera dikerjakan tanpa menunggu-nunggu uang banyak untuk mendirikan tempat kebaktian. Meskipun tempat itu kurang baik letaknya dan sepi, justru itulah yang ia pilih untuk menjadi tempat pemasyhuran Injil dan menghendaki agar kelak menjadi suatu desa Kristen.

Ia mengajar murid-muridnya dengan cara khas Jawa dan sebagai orang Jawa yang mengetahui isi hati kaumnya sendiri ia memberitakan Injil itu sesuai dengan keadaannya. Sadrach sebagai seorang yang pernah menjadi santri yang berpengalaman dan pernah berguru pada orang-orang berilmu, ditambah pergaulannya dengan para pendeta Belanda, dimana ditambah pergaulannya dengan para pendeta Belanda, dimana ia memperoleh ilmu baru, yaitu Injil. Dengan memiliki itu, maka Sadrach dengan mudah menghadapi orang-orang, santri-santri dan guru-guru ilmu. Dengan modal pengalamannya ia dapat benar-benar mendalami dan memahami sangkalan orang lain terhadap Injil. Cara Sadrach berdebat dengan guru-guru ilmu untuk menyampaikan berita Injil, dan yang biasa dimiliki dan dikuasai guru-guru itu sudah dimengerti oleh Sadrach, tetapi sebaliknya apa yang dikuasai dan dimiliki Sadrach, mereka tidak mengetahuinya, misalnya tentang sepuluh hukum Allah yang sama sekali tidak dikenal oleh mereka, maka kesempatan inilah terus dipakai oleh Sadrach untuk menjelaskan kedudukan sebagai orang Kristen dan jalannya keselamatan. Akhirnya guru-guru itu tertarik dan ingin belajar ilmu baru yang dimiliki Sadrach.

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Jawa pada saat itu, jika guru-gurunya menyerah, dan menjadi orang Kristen, maka semua penganutnya-pun mengikuti jejak gurunya. Dengan demikian Sadrach menjadi sangat termasyhur namanya sebagai orang yang pandai dan seorang guru yang penuh dengan Roh Suci, hingga orang menyebutnya sebagai Kyai Kristen atau Kyai Sadrach.

Hasil pemberitaan Injil dalam tahun 1871 adalah dua puluh orang dibaptiskan yaitu pada tanggal 6 Februari 1871, dan pada tanggal 16 Juli 1871 sebanyak tiga puluh orang, diantaranya bernama Simon Wirosono dan Samuel Citrojoyo, sebagai tokoh di Jelok. Tanggal 18 Oktober 1871 ada empat orang. Baptisan semua ini telah dilakukan di Purworejo yang dilayani oleh Ds. De Bryn, pendeta dari gereja Belanda.
Kedatangan Sadrach baik di Cangkrep maupun di daerah Kutoarjo mendapat tentangan keras dari dua orang guru ahli nujum, bernama R. Ranukusumo dan Setrodiwongso. Adapun ajaran dari kedua ahli nujum itu menurut tata caranya sendiri yang hampir menyerupai ajaran Budha. Dengan kedatangan kedua orang di daerah Cangkrep dan Kutoarjo-pun menghebohkan dipihak agama Islam, karena mereka itupun menentang agama Islam. Ketika kedua orang itu berhadapan dengan Sadrach maka terjadilah suatu perdebatan yang hebat hingga berhari-hari lamanya. Kedua belah pihak saling mengadu kepandaian ilmu masing-masing. Dalam hal itu, Sadrach dengan keuletannya, selalu dipihak yang unggul. Sadrach tetap bertekun serta minta kekuatan dari Tuhan. Karena berkat pertolongan Tuhan, akhirnya kedua guru ahli nujum itu menyerah dan menyatakan ingin belajar ilmu yang baru yang dimiliki oleh Sadrach. Dengan kekalahan kedua orang guru itu, maka sebagian muridnya sebanyak 179 orang pun menyerah kepada ajaran Kristen menjadi murid-murid Sadrach.

Pada tanggal 26 Oktober 1872 dilakukan Baptisan kepada 181 orang yang dilayani oleh Ds. Troostenburg de Bruyn, dan pada tanggal 5 April 1873 menyusul sebagian yang lain ialah sebanyak 310 orang lagi. Inilah suatu yang luar biasa bagi sejarah Gereja, dimana telah terjadi selama setengah tahun gereja di Purworejo membaptiskan hampir 500 orang. Dengan penyerahan sejumlah itu, diantaranya dua orang yang juga menjadi pemimpin mereka telah pergi meninggalkan kawan-kawanya dan tidak sudi buat menyerah kalah.

Kemudian orang-orang yang telah menerima Baptisan itu, kembali ke desanya masing-masing. Pemberitaan Injil terus dilakukan oleh orang-orang itu di desa mereka sendiri. Maka sejak masa itu, timbulah jemaat-jemaat kecil diberbagai desa yaitu di desa-desa: Banjur, Pamilan, Pondokgede, Karangpucung, Mamoreh, Slewah, Kesingi, Dermosari, Jelok dan Bulu. Demikian kegiatan Sadrach sebagai pembantu Ny. Philips. Pekerjaan Sadrach telah dibantu oleh Markus dan Johannes dan pula oleh murid-murid Sadrach. Jika di pandang dalam hal pengetahuan mereka yang telah menerima Baptis sebenarnya masih sedikit, sebab Sadrach dan murid-muridnya telah mengajarkan berdasar sepuluh Hukum Allah, Doa Bapa Kami dan Dua belas pengakuan Rasuli saja. Mereka dibaptis berdasarkan kesanggupan dan kepercayaan mereka yang sungguh-sungguh dan kelihatan teguh, setelah di dengar oleh para pemimpin diantaranya Ny. Philips, bapak Abisai dan lain-lainnya, yang mana dihadiri juga oleh Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda. Pemeriksaan iman telah dilakukan di Purworejo. Murid-murid Sadrach yang sangat giat dalam memberitakan Injil ialah : Paulus Kasanmentaram, Yohanes, Markus dari desa Banjur, Musa dan Sulaiman.


Kegiatan Sadrach dan murid-murid tak hanya beroperasi di daerah lembah selatan saja, melainkan terus mengadakan operasinya ke pegunungan arah utara dan barat sampai perbatasan dengan daerah Banyumas. Bahkan menerobos daerah Banyumas Utara dan Selatan. Murid-murid yang tersebar di pegunungan yang membujur dari gunung Sindoro sampai gunung Slamet, menjalar ke utara turun ke lembah ke daerah Pekalongan dan Tegal. Kegiatan-kegiatan itu terjadi pada tahun 1874. Inilah hal-hal yang sangat menggembirakan dalam sejarah pemberitaan Injil yang sangat cepat meluasnya hingga Baptisan makin bertambah-tambah.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

3. SADRACH MEMBANTU PEKERJAAN NY. PHILIPS DI DAERAH PURWOREJO

Hal yang memberi dorongan dalam hati Sadrach setelah mendengar cerita Kyai Tunggul Wulung tentang perkembangan Injil di Bagelen, hingga ia sangat tertarik. Ternyata Roh Suci telah menggerakkan hatinya, ia mengambil keputusan dengan tak pikir panjang dan tiada di ragu-ragukan lagi, maka dengan perkenan Kyai Tunggul Wulung, ia meninggalkan Bondo langsung menuju ke Purworejo pada tahun 1869.

Keadaan di Purworejo sebelum Sadrach datang, Injil telah berkembang di daerah Purworejo di bawa oleh Ny. Philips dan kawan-kawannya, yaitu Abisai Reksodiwongso yang berasal dari daerah Jepara dan Tarub dari Kediri, Jawa Timur. Gereja telah didirikan di rumah Ny. Philips di kampung Tuksongo. Pelayanan baptisan dilakukan mula-mula di Gereja Belanda, yang kemudian dilakukan di Tuksongo.

Gereja Belanda pada saat itu adalah sebagai Gereja pemerintah (Staatskerk) yang khusus untuk melayani orang-orang Belanda dan Ambon saja, terutama kaum militer, maka disebut Gereja militer. Diantara suku Jawa yang mula-mula dibaptis di gereja itu adalah seorang perempuan istri seorang Belanda pada tanggal 17 agustus 1815 dengan nama Baptisan Gertruida. Meskipun gereja itu sejak tahun 1800 sudah ada tetapi tidak ada perkembangan suatu apa, karena seolah-olah tertutup bagi masyarakat Jawa.

Setelah Ny. Philips memperkembangkan Injil di daerah Purworejo, mulai ada perhatian dari gereja tersebut terutama para Pendeta Belanda, sebab Ny. Philips sering mengadakan hubungan dan suaminya sendiri menjadi anggota Gereja Belanda.


Siapakah sebetulnya Ny. Philips itu ? Ny. Philips adalah seorang Indo Belanda yang dilahirkan dari perkawinan campuran. Ayahnya bernama Steven dan ibunya seorang Jawa. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Nopember 1825 di Yogyakarta diberi nama Petronella. Setelah ia menerima baptis di gereja Goubernement Yogyakarta diberi nama Christina. Orang tuanya seorang Tuan Tanah bertempat tinggal di desa dekat kota Yogyakarta. Sejak kecil ia bergaul dengan anak-anak Jawa dari desa setempat, hingga ia sangat pandai bicara bahasa Jawa.
Setelah umur 24 tahun ia menikah dengan seorang Belanda bernama Yohanes Carolius Philips pada tahun 1849, yang bekerja sebagai Opzichter Indicocultuur (Pengawas Perkebunan Nila) di desa Ambal Daerah Kabupaten Kebumen. Kemudian lewat beberapa hari ia pindah ke desa Ambal mengikuti suaminya. Karena kesibukan suaminya ia tak sempat memikirkan tentang Injil. Ia mulai sadar ketika ada seorang tamu Jawa dari Semarang yang banyak menceritakan Injil Kristus hingga ia sangat terpesona mendengar cerita itu. Ia menyadari apa yang menjadi tugas-tugas sebagai orang Kristen. Tapi suatu pertanyaan dalam hatinya, “apakah mungkin orang Jawa bisa menerima Injil?” Apakah yang sekarang harus dilakukan, ia belum mendapat suatu jalan, maka tak lama kemudian ia pergi ke Banyumas untuk minta nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada iparnya bernama Ny. Van Oostrom Philips, seorang janda pemberita Injil kepada suku Jawa di daerah Banyumas disamping pekerjaannya sebagai pedagang kain batik. Banyaklah petunjuk-petunjuk dan nasehat yang ia terima dari iparnya, kemudian ia kembali ke desanya di Ambal. Maka mulailah tugasnya yang suci. Mula-mula memberitakan Injil kepada orang-orang bawahannya, hingga diantaranya dua orang pria dan tiga orang wanita menyatakan ingin menerima Baptis. Maka baptisan telah dilakukan di Purworejo pada tanggal 27 Desember 1860 dilayani oleh Ds. B. Braams di gereja Belanda. Karena semua itu dilakukan dengan bahasa Belanda maka Ny. Philips sebagai perantara menterjemahkan dalam bahasa Jawa.
Keluarga Philips pindah ke Purworejo pada tahun 1862, bertempat tinggal di kampong Tuksongo. Di Purworejo mulailah ia dengan pekerjaan baru dalam melakukan pemberitaan Injil kepada penduduk setempat. Karena keramahan dan tata sopan santun Ny. Philips, maka banyak orang suka padanya serta banyak pula yang mau menerima Injil. Di rumah kediamannya ia mendirikan gereja Kristen untuk kaum bumi putera. Pada saat itu datang seorang dari daerah Jepara bernama Abisai Reksodiwongso, dengan maksud akan membantu pemberitaan Injil di daerah Purworejo, atas petunjuk dan nasehat Ny. Van Oostrom. Mula-mula ia menjadi murid Ny. Philips kemudian ia menerima baptisan pada tahun 1868 yang dilayani oleh Ds. Th. C.M. Hanegraat dari Gereja Belanda.
Pada suatu hari datang lagi seorang dari Kediri, Jawa Timur bernama Tarub pada tahun 1868. Tarub adalah seorang murid dari Ds. Poensen dan telah menerima Baptisan di Kediri. Di Purworejo ia ingin bekerja membantu dalam melakukan pemberitaan Injil. Ny. Philips dan Abisai menerima Tarub dengan segala senang hati. Dengan demikian pemberitaan Injil makin luas sampai di luar kota. Pengikut-pengikut Kristus makin bertambah. Disamping itu juga, Ny. Philips telah mendidik keagamaan kepada anak-anak diantaranya anak-anak Abisai yang akhirnya telah menerima Baptisan diberi nama Samuel, yang kelak menjadi dokter, bekerja kepada Zending di Mojowarno. Dan Timotius, kelak menjadi guru Injil merangkap guru sekolah rakyat di Purworejo, serta membantu pekerjaan Ds. Wilhelm dan Ds. Adriaanse. Inilah kegiatan-kegiatan Ny. Philips sebagai ibu yang memulai Pemberitaan Injil di daerah Jawa Tengah Selatan sebelum Sadrach datang di daerah ini.

Sadrach datang di Purworejo dengan tujuan menghadap Ny. Philips. Dari surat baptis Sadrach dan pengalamannya di rumah Mr. Anthing, lebih menyakinkan Ny. Philips. Maka Sadrach diterima dengan senang hati menjadi pembantu Ny. Philips. Ia bekerja di bawah pimpinan Ny. Philips, tetapi di dalam menerima pimpinan itu Sadrach tetap mendasarkan pekerjaannya pada kemampuan dan kebijaksanaan sendiri. Memang telah diceritakan diatas, bahwa karakter dan sifat Sadrach lain dari pada kawan-kawannya, karena ia seorang yang progresif dan suka bebas. Ia tidak suka bergantung kepada orang, inilah yang menjadi sifat dan ciri-ciri Sadrach. Dan segala petunjuk-petunjuk serta nasehat Ny. Philips bagi Sadrach bukanlah hal yang baru, sebab Sadrach sudah cukup pengalaman sebagai pekabar Injil dengan menjual buku-buku sewaktu di Batavia.

Sadrach dalam membantu pekerjaan Ny. Philips di Purworejo merasa senang dan besar hati, karena di sinilah ia dapat melihat dibeberapa tempat yang harus digalinya sebab di tempat itu terdapat banyak orang yang menentang ajaran-ajaran Kristen terutama di daerah Cangkrep dan Kutoarjo, dan tempat itulah lapangan kerja Sadrach.
Di Purworejo Sadrach hanya sebentar-sebentar, karena ia selalu ke luar kota. Sadrach tidak mempunyai pondokan yang tetap, ia seorang pengembara. Adapun caranya memberitakan Injil datang ke rumah orang, bicara-bicara hingga malam hari dan bermalan juga di situ, kemudian pindah ke lain tempat lagi. Ia selalu disambut dengan baik oleh penduduk yang ia kunjungi itu. Dan suatu keistimewaan Sadrach, bahwa setiap orang yang dijumpainya, orang itu akhirnya bertobat menerima Tuhan Yesus.


(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

2. TINDAKAN-TINDAKAN PERTAMA YANG DILAKUKAN OLEH SADRACH

Sebagaimana murid-murid Mr. Anthing yang lain sering diberi tugas untuk memberitakan Injil, demikian juga Sadrach. Mula-mula ia mendapat tugas untuk menjual buku-buku Kristen sambil mengabarkan Injil di sekitar kota Batavia. Tetapi jalan itu bagi Sadrach tidak cocok. Maka ia minta ijin Mr. Anthing untuk kembali ke Jawa Tengah guna melanjutkan tugasnya dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa. Dengan segala senang hati Mr. Anthing meluluskan permintaannya. Agar supaya Sadrach mendapat penghargaan di gereja-gereja yang ia kunjungi, Mr. Anthing telah memberi sepucuk surat keterangan. Karena nama Mr. Anthing cukuplah dihargai.
Sadrach mulai dengan perjalanan kembali dengan tujuan ke Bondo. Dengan berjalan kaki mula-mula ia menuju kota Bandung, kemudian Cirebon, Tegal dan menuju kota Semarang, dan dari Semarang terus menuju ke Bondo.

Ia singgah di tiap kota yang ia lewati sambil mengadakan perkunjungan ke Gereja-gereja serta memperkenalkan diri terutama kepada pendeta gereja setempat dengan menunjukkan surat keterangan dari Mr. Anthing, sehingga ia diterima dengan baik ditiap gereja yang ia kunjungi. Di situlah ia diberi tempat menginap untuk melepaskan lelahnya. Dan pula ia mengadakan kesaksian Injil Kristus kepada orang Kristen di kota-kota itu.

Beberapa hari kemudian barulah Sadrach sampai di Bondo, langsung menuju ketempat Kyai Tunggul Wulung. Dan diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid Mr. Anthing. Tetapi tak lama ia berada di Bondo. Ia melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur menuju Surabaya, menemui Saudara-saudara Kristen Jawa, kemudian ke Mojowarno ke tempat Paulus Tosari. Di situlah ia bermalam bersama-sama dengan orang-orang Kristen Jawa yang dulu menjadi murid Ds. Coolen.

Paulus Tosari adalah seorang pemberita Injil di Jawa Timur yang cukup berpengalaman dan terkenal. Ia berasal dari seorang Santri yang rusak hidupnya, kemudian ia berkenalan dengan Ds. Coolen dan menerima ajaran Kristen dari pendeta tersebut dan menerima Baptisan di gereja Ende. Setelah itu ia berkeliling memberitakan Injil di Jawa Timur dengan gaya dan cara khas Jawa. Banyak pembantunya dan akhirnya ia bertempat tinggal di Mojowarno, yang pada saat itu Ds. Jellesma bekerja di Mojowarno. Paulus Tosari dianggap sebagai rekan sepekerjaan dan tak diperlakukan sebagai bawahan yang dikuasai. Paulus Tosari sebagai pemberita Injil dan Ds. Jellesma telah mendirikan pendidikan kader pemimpin-pemimpin jemaat.

Sementara Sadrach berkeliling di Jawa Timur, Kyai Tunggul Wulung mendengar bahwa di daerah Begelen Purworejo sudah ada pekabaran Injil kepada bumi putera yang dilakukan oleh Ny. Philips dengan pembantu-pembantunya. Maka segeralah ia bersama beberapa kawannya pergi ke Purworejo untuk menyaksikan keadaan pekabaran injil di Purworejo. Rombongan ini langsung menuju rumah Ny. Philips di Tuksongo. Kedatangan rombongan Tunggul Wulung ini disambut dengan ramah-tamah oleh Ny. Philips dan pembantu-pembantunya yaitu Abisai Reksodiwongso, Tarub dan lain-lain orang-orang Kristen yang ada di situ.
Tunggul Wulung sangat takjub mendengar cerita Ny. Philips dari hal perkembangan Injil di daerah Purworejo. Setelah mendapat cukup keterangan-keterangan, maka lewat beberapa hari ia dan rombongan itu kembali ke Bondo.

Pengembaraan Sadrach di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mempunyai maksud dan tujuan tertentu, disamping melihat keadaan saudara-saudara Kristen yang tersebar di mana-mana. Karena tiap tempat yang ia kunjungi ia dapat membanding-bandingkan praktek-praktek masing-masing sebagai pendirian Kekristenannya, baik di Jawa Barat, Tengah maupun Timur, serta pergaulannya dengan para pendeta Belanda atau pemberita-pemberita Injil Jawa. Pengalaman diperluas dengan cara persiapan-persiapan untuk tugas-tugasnya kelak. Terutama pengalaman memberitakan Injil misalnya : di Jawa Barat dengan tata cara Gereja Zion yang beraliran Hervormd di Batavia, dan gereja-gereja pasundan di Bandung.

Di Jawa Tengah, dengan aliran gereja-gereja Gereformeerd di kota Tegal, dimana Ds. Vermeer pada saat itu masih bekerja sebagai pendeta utusan Zending Gereformeerd berkedudukan di Tegal. Dan di Semarang ia sudah banyak mengenal Ds. Hoezoo dan pernah menjadi murid katekisasi, kemudian di Bondo dengan Kyai Tunggul Wulung sebagai gurunya sendiri yang sangat ia taati yang mempunyai tata cara sebagai pemberita Injil yang khas untuk orang-orang Jawa, dan akhirnya perkunjungan kepada Paulus Tosari di Mojowarno Jawa Timur, dari golongan gereja Ende, dan Ds. Jellesma pendeta utusan Zending Gereformeerd yang pernah juga menjadi gurunya. Di sinilah hal yang sangat penting bagi Sadrach untuk menentukan sikap untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemberita Injil. Dari sikap Sadrach yang tidak menetap di suatu tempat tertentu, menunjukkan sikapnya yang bebas dan senang mengembara.

Sebenarnya cukuplah baginya untuk bekerja pada Mr. Anthing atau bergabung dengan Kyai Tunggul Wulung, atau menempuh jalan seperti saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan membuka hutan dan mendirikan desa Kristen atau hidup di tengah-tengah mereka. Tetapi kenyataannya ia kembali ke Bondo, setelah ia mendengar Kyai Tunggul Wulung tentang perkembangan Injil di Bagelen Purworejo, maka ia mengambil keputusan untuk membantu pekabaran Injil yang dilakukan oleh Ny. Philips di Purworejo.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html

1. ASAL USUL DAN MASA MUDA SADRACH SEBELUM MENJADI ORANG KRISTEN

Sadrach sejak masa kecilnya, orang tidak tahu siapakah orang tuanya. Waktu kanak-kanak ia bernama Radin. Sejak kanak-kanak ia sudah ditinggal mati oleh orang tuanya sehingga hidupnya terlantar. Sebagai anak piatu hidupnya mengemis. Dia menggantungkan hidupnya dengan minta-minta sedekah kian kemari, dari orang-orang dermawan.

Ia dilahirkan di desa Dukuhsekti daerah Demak wilayah Jepara. Sejak kanak-kanak ia telah meninggalkan tempat kampung halamannya dan mencoba mencari hidup nafkahnya sendiri dengan minta-minta. Pada saat itu hidupnya sangat menderita, karena selain untuk mengisi perut pun ia harus menerima hinaan setiap hari dari anak-anak bangsawan yang sepadan usianya. Dengan sabar ia menerima segala yang dirasakan pada saat itu, tetapi semuanya itu tentulah tidak berlangsung lama. Tetapi cukuplah penderitaan yang ia rasakan, karena pada akhirnya ia ditolong oleh seorang Guru Agama Islam untuk diberi pelajaran mengaji. Betapa suka hatinya, dengan rajin ia mengikuti pelajaran agama Islam. Ternyata ia dipandang sebagai anak yang lebih pandai dari anak-anak lain. Ia berdiam di rumah guru itu dan dianggap seperti anak sendiri.

Pada suatu hari ia dibawa oleh guru tersebut pergi Jombang untuk meneruskan pelajarannya yang lebih tinggi yaitu dipondok Pesantren. Karena Pondok Pesantren di Jombang itu sangatlah terkenal. Sejak itu, menjadi murid guru itu, ia diberi nama baru, yaitu : ABAS, maka namanya menjadi Radin Abas, Perjalanan menuju ke Jombang (Jawa Timur) itu ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan pos Semarang – Surabaya, dan memakan waktu beberapa hari lamanya.

Dipondok Pesantren di Jombang, Radin Abas dipandang sebagai anak yang cerdas dan rajin. Semua pelajaran dapat ia kuasai. Selamat di sana, pada waktu liburan ia sering ke Mojowarno untuk mendengar suatu pelajaran baru yang menurut anggapannya, yang dibawa oleh Ds. Jellesma. Benih ajaran Kristen mulai tertanam dalam hatinya melalui Ds. Jellesma. Dalam hal ini ia merasa heran ketika mendengar Injil keselamatan. Hatinya sangat tertarik pada agama Kristen. Dengan diam-diam diluar sepengetahuan guru-guru pondok pesantren dan teman-temannya ia mengadakan hubungan dengan Ds. Jellesma, menerima pelajaran agama Kristen. Banyak persoalan-persoalan yang dibicarakan dan banyak pula keterangan-keterangan yang diperolehnya. Ia telah menyatakan keinginannya menjadi murid Ds. Jellesma di Mojowarno. Radin Abas berwatak keras dan progresif, karena ia mencari akan kebenaran Allah. Sampai pada saat itu ia belum dapat melepaskan pondok pesantrennya dan dalam hal ini masih dirahasiakan kepada Guru dan temannya. Dari Jombang ia pindah ke Ponorogo ke pesantren Gontor yang sudah terkenal. Pondok Pesantren di Jombang yang disebut Tebuireng dan Gontor di Ponorogo adalah sangat terkenal. Apa yang diterima dalam Lembaga Pendidikan yaitu sebagai pesantren-pesantren tradisional, karena ajaran-ajaran yang diberikan pada zaman itu, disamping ajaran-ajaran pokok agama Islam, adalah bahasa Arab, tasawuf, dan juga berbagai ilmu yang bersifat magis dsb. Untuk melanjutkan pendidikannya, dari Ponorogo ia pindah ke Semarang.

Di Semarang ia bertempat tinggal di tengah-tengah orang Arab dan kaum muslimin. Di sana ia mendapat pelajaran dari seorang guru dalam ilmu magis, dan pula terkenal sebagai dukun dan juru tenung. Disamping itu berkenalan dengan Ds. Hoezoo seorang pendeta utusan yang berkedudukan di Semarang, atas petunjuk-petunjuk dan nasehat dari Ds. Jellesma. Ds. Hoezoo merasa sangat gembira menerima Radin Abas sebagai murid Katekisasi.

Pelajaran yang ia terima dari guru ilmu kebatinan itu, menurut anggapannya tidak ada jahatnya karena hal itu hanya untuk menambah pengetahuannya saja. Tiap hari minggu ia ke gereja. Justru pada saat itu ia diperkenalkan dengan seorang yang telah lanjut usianya bernama; Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berasal dari desa Bondo, sedaerah dengan Radin Abas. Radin Abas merasa girang dengan pertemuan itu, dan menyatakan keinginan menjadi muridnya.

Kurmon, seorang murid Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang menjadi perantara mula-mula dalam perkenalan antara Radin dengan Kyai tersebut. Radin ketika mendengar banyak tentang Kyai tersebut ia sangat tertarik dan ingin menemuinya. Ia diajak oleh Kurmon datang di Bondo Jepara. Radin Abas tak habis mengerti bahwa di daerahnya sendiri ada seorang Jawa yang berdiri sebagai Kyai Kristen. Orang itu berbadan tinggi besar bermata tajam dan berjenggot panjang sampai ke dada. Ia kelihatan seperti seorang bertapa dan tak pernah ia duduk di tanah jika berhadapan dengan siapa saja yang ia jumpai baik orang Belanda maupun orang yang berpangkat sekalipun, bahkan ia pandai bicara disertai pengaruh. Ialah seorang yang telah mendirikan suatu desa Kristen di Bondo, pun mempunyai banyak ilmu dan pengalaman sebelum ia menjadi orang Kristen. Ia bertindak sebagai dukun Kristen menurut anggapan orang desa itu. Radin Abas telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan seperti telah diceritakan di atas, Radin Abas menyatakan keinginannya menjadi muridnya.

Perkenalan antara Radin dengan Kyai Tunggul Wulung, menyebabkan hati Radin makin terdorong dan sangat condong kepada Agama Kristen. Hingga akhirnya ia menyatakan ingin menjadi orang Kristen. Kyai Tunggul Wulung sangat gembira ketika mendengar pernyataan anak muda itu, maka ia berusaha untuk membawa Radin Abas kepada seorang Belanda Mr. Anthing yang berkedudukan di Batavia pada tahun 1865/1866.
Kyai Tunggul Wulung dan Mr. Anthing berkawan pada waktu Mr. Anthing tinggal di Semarang sebagai petugas Pengadilan. Kemudian pada tahun 1863 Mr. Anthing pindah ke Batavia. Di Batavia Mr. Anthing mendapat kedudukan sebagai Vice President Hoog Gerechtchef (Wakil Kejaksaan Tinggi). Iapun menjadi anggota suatu perkumpulan “Het Genootchap voor in-en Uitwendige Zending” (Urusan Dalam dan Luar dari Perkumpulan Persahabatan para Utusan) di Indonesia, yang bertujuan memberitakan Injil kepada orang-orang Kristen yang sesat, dan kepada semua orang. Ia sangat memprihatinkan pekabaran Injil kepada orang-orang bumi putera. Disamping pekerjaannya ia telah mendirikan sebuah pendidikan Kristen untuk anak-anak muda bumi putera. Pendidikan itu bersifat Theologis, supaya anak-anak yang lulus dari pendidikan itu menjadi seorang pekabar Injil.

Kedatangan Kyai Tunggul Wulung bersama Radin di Batavia, diterima dengan gembira oleh Mr. Anthing. Bagaimana mesranya pertemuan itu karena sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa. Kyai Tunggul Wulung menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu hendak menyerahkan Radin Abas kepada pendidikan Mr. Anthing. Dengan suka hati Mr. Anthing menerima Radin Abas sebagai muridnya.
Dalam pendidikan tersebut, mula-mula Radin diterima sebagai pelayan. Kemudian setelah dipandang baik dan rajin mengatur rumah tangga dan setia dan keinginan yang sungguh-sungguh menjadi orang Kristen, haruslah ia mendapat pelajaran-pelajaran agama Kristen. Mr. Anthing sangat suka pada Radin karena anak muda itu di pandang cerdas otaknya dan mudah menerima segala pelajaran yang diberikannya. Akhirnya Radin diangkat menjadi anak-mas Mr. Anthing. Pelajaran agama Kristen telah diberikan oleh Ds. Taffer, seorang pendeta pensiunan. Akhirnya Radin Abas mengambil keputusan untuk menerima Baptis Suci. Setahun kemudian ia lulus dari pendidikan tersebut, ia menerima Baptis Suci di Gereja “Zion” pada tanggal 14 April 1867, dengan nama Baptisan “Sadrach”, dan ia mengganti nama santrinya “Abas”, maka ia pakai namanya sebagai “Sadrach Radin” dan akhirnya ia terkenal dengan sebutan “Sadrach” saja. Pada saat ia dibaptiskan, ia telah berusia 26 tahun.

Beberapa kesimpulan mengenai jalan hidup Sadrach hingga menjadi seorang Kristen adalah sbb:
1.Sejak kecil ia sangat menderita, hidup mengembara untuk mengatasi segala kesulitan-kesulitannya sendiri. Maka di sinilah terbentuk jiwa bebas dan tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendaknya dan pikirannya sendiri.
2.Ia seorang yang cukup mendapatkan dasar-dasar pendidikan Islam tradisionil, bercampur magis, dan seorang santri yang berpengalaman.
3.Setelah mengenal Kristus melalui Ds. Jellesma, Ds. Hoezoo dan Kyai Tunggul Wulung belum begitu mendalam, tetapi hal itu menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi.
4.Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan keputusan hatinya untuk menerima Baptisan.
5.Kekristenan Sadrach telah diisi dan dibina oleh ajaran gereja yang beraliran Hervormd, karena dia menjadi anggota Gereja “Zion” di Batavia.


(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html