Rabu, 06 Januari 2010

8. NY. PHILIPS MENINGGAL DUNIA DAN REAKSI SADRACH DALAM TINDAKAN SELANJUTNYA.

Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka terpaksa ia tak dapat melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan itu ia serahkan kepada Abisai dan Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny. Philips pada saat itu harus mengaso dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi Jemaatnya lagi. Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub, Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia berusaha sedapat mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny. Philips di situ membuat besar hati dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.

Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah mengurangi pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia menyerahkan segala pekerjaan dan hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih. Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny. Philips untuk memberi hiburan serta mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri hidupnya, sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach dan Abisai untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan senyuman telah menutup mata untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal kelahirannya di Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.

Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh Jawa Tengah dan beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita, sehingga nama harum Ny. Philips selalu teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang ditinggalkan itu tiada menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai urusan gereja, walaupun mereka kini mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta halaman berikut gereja di Tuksongo dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada seorang Tionghoa. Hal itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.

Mengingat keadaan itu, sungguh sangat menyedihkan bagi Jemaat di Purworejo. Pada saat itu, Abisai terpaksa mencari tempat lain untuk mengadakan kebaktian. Setelah diadakan perundingan bersama dengan Sadrach, maka untuk sementara kebaktian digabung di Karangjoso sebelum Abisai mendapat tempat.
Walaupun dengan penggabungan kebaktian itu, masih juga dirasa suatu penderitaan bagi Jemaat di daerah Purworejo, dimana mereka harus setiap minggu dengan jalan kaki menempuh jarak l.k. 20 kilometer jauhnya antara Purworejo dan Karangjoso.

Apakah dengan lenyapnya gereja Tuksongo berarti juga hancurnya kekristenan di Bagelen ? Tidak, sebab sebelum Ny. Philips wafat, ia telah menyampaikan isi hatinya dan pandangannya mengenai pemeliharaan kerohanian orang Kristen Jawa kepada kedua pembantunya yang setia yaitu Abisai Reksodiwongso dan Sadrach. Orang-orang Kristen di Purworejo dan sekitarnya diserahkan kepada Abisai dan daerah Karangjoso dan sekitarnya kepada Sadrach. Maka dengan demikian orang-orang Kristen Jawa dapat tetap bertahan, artinya tak melepaskan kepercayaan Kristen mereka.
Soal penyerahan pimpinan ini langsung diberitahukan oleh Sadrach kepada para pembantu-pembantunya yang bekerja di kelompok-kelompok. Menurut pendapat Sadrach dan kawan-kawannya, sekarang mereka tidak bergantung kepada siapapun. Mereka ingin mengatur dirinya, sebab itu mereka menyebut dirinya : Kristen Jawa Merdeka. Ini bukan kesombongan atau berdasar rasa benci, tetapi ini keadaan yang sebenarnya. Sebab Gereja Negara sudah tidak mau menganggap lagi dan Ny. Philips sudah meninggal dunia. Kemudian Sadrach telah mengumumkan nama barunya sebagai pemimpin orang Kristen Jawa Merdeka, dengan nama : SUROPRANOTO, yang berarti berdiri sendiri (berdikari) tidak dibawah siapapun, dan semuanya diatur menurut tata caranya sendiri (Mranata).

Soal ini bagi Sadrach sudah biasa, sebab ia sudah biasa hidup tak tergantung kepada orang lain. Situasi seperti ini mengingatkan Sadrach kepada gurunya dulu yaitu Kyai Tunggul Wulung, dimana pendeta Jawa tak tergantung kepada siapapun.
Sadrach dengan seribu lima ratus orang dewasa atau kurang lebih tiga ribu anggota ingin mengatur diri bersama-sama. Dia mengambil inisiatif dan menetapkan aturan-aturan bagi semua kelompok. Tiap-tiap tigapuluh lima hari sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon, semua ketua kelompok berkumpul di Karangjoso. Hari Selasa Kliwon bagi orang Jawa mendapat perhatian besar sebagai hari kelahiran Syiwa, dan tiap-tiap malam Selasa Kliwon di rumah atau di tempat keramat dan kuburan, orang membakar kemenyan. Dengan ditetapkannya hari itu untuk berkumpul maka perhatian kepada upacara pembakaran kemenyan beralih. Sebab yang datang dalam kumpulan itu tidak hanya wakil-wakil dari kelompok, tetapi orang-orang dari kaum awam juga. Ini merupakan pertemuan besar dibawah pimpinan Sadrach. Di situ dibicarakan soal-soal misalnya : jumlah anggota gereja, kelahiran, kematian, pemisahan kelompok-kelompok yang makin besar, menetapkan ketua-ketua kelompok, menentukan pembangunan rumah-rumah kebaktian dan sebagainya. Demikianlah semua kemungkinan di situ dikemukakan, diperbincangkan dan diatur. Dengan demikian hingga merupakan persatuan yang ampuh. Dari pelbagai tempat orang-orang itu berkumpul, berdoa, berbakti bersama-sama. Pada malam hari mereka bermalam di rumah Sadrach dan saling mengadakan perkenalan dan bercakap-cakap sebagai kakak beradik, bapak dan anak, hingga merupakan kekeluargaan yang penuh dengan kasih. Suasana yang tak diinginkan tak pernah terjadi, sebab mereka merasa menjadi tamu di rumah gurunya, mereka takut berbuat apa-apa yang kurang hormat dalam pertemuan itu. Soal makanan mereka, tak mungkin Sadrach menjaminnya. Para tamu membawa sendiri hingga tak dibebankan pada seorang saja. Aturan ini berjalan terus tak penah lowong, dan menunjukkan suatu keluarga yang besar dibawah seorang bapak Sadrach. Ikatan ini semakin kuat, sebab mereka dalam satu perguruan merasa seperti saudara-saudara sekandung. Keadaan sosial ekonomi umumnya cukup, sebab hampir setiap keluarga mempunyai sawah dan tanah sendiri.

Para murid-murid Sadrach menaruh kepercayaan besar kepada gurunya. Sikap dan kelakuan Sadrach bernilai tinggi diantara murid-muridnya. Ia seorang yang dapat menguasai diri. Tak banyak tertawa, orang yang serius, tak suka bersenda-gurau. Tak pernah mengejek atau menghina orang lain. Kenalannya tak hanya orang-orang yang rendah, tetapi sampai pejabat-pejabat tinggipun mengenal dia. Dengan demikian menambah gengsi dihadapan para murid-muridnya.
Kelompok Sadrach tetap bernama Kristen. Mereka menegakkan sepuluh Hukum dan Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli dan biasanya itu dihafalkan pada tiap Kebaktian hari Minggu. Hal-hal inilah sebagai ciri orang-orang Kristen yang nampak di tengah-tengah masyarakat desa sekitar Karangjoso, dan ini memang merupakan persekutuan yang sangat bermutu.

(disalin dari Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro GKJ Sabda Winedhar)
http://gkjsabdawinedhar.blogspot.com/2009/02/kyai-sadrach.html